Volume 1 : Jakarta Bogor

Eko Broto Budiarto
Chapter #6

6. Cermin Retak di Studio Foto Cibinong

Boedy tak pernah punya rencana detail saat melanjutkan perjalanan. Peta di kepalanya bukan garis jalan, tapi lintasan rasa. Dan pagi itu, saat matahari baru menguap embun dari kaca helmnya, ia merasa ingin mencetak satu foto dari perjalanan. Bukan untuk disimpan, tapi untuk diingat. Karena kadang, ingatan butuh bentuk untuk menetap.


Ia berhenti di sebuah pertigaan kecil di Cibinong, mencari tempat print foto. Di ujung jalan sempit, tertutup pepohonan dan papan toko yang sudah mulai kusam, ia melihat sebuah studio foto tua. Plangnya nyaris jatuh, catnya mengelupas, dan huruf-hurufnya tinggal setengah terbaca: "St… Foto Har…pan".


Ia parkir motornya pelan. Pintu kaca studio itu buram, seperti belum dibersihkan lama. Saat Boedy mendorong masuk, bel tua di atas pintu berbunyi lirih. Suara yang mengabarkan kedatangan, tapi seperti tidak diharapkan.


Ruangan di dalam remang. Ada kamera tua di atas tripod yang berdiri miring. Dindingnya dipenuhi foto-foto lama — bayi tersenyum, pasangan pengantin, anak sekolah, bahkan beberapa potret hitam putih. Tapi semuanya berdebu. Seperti ingatan yang tidak lagi dijamah.


Dari balik tirai, muncul sosok pria paruh baya. Rambutnya memutih di sisi, wajahnya muram, matanya sayu. Ia tidak menyapa. Hanya menatap.


Boedy tersenyum. “Mau cetak foto, Pak. Bisa?”


Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan pelan, membuka laci di meja, dan mengeluarkan kabel sambungan kamera. Suaranya akhirnya terdengar, pelan dan berat.


“Pakai flashdisk?”


Boedy mengangguk. Tapi kemudian ia berkata, “Sebenarnya saya juga pengin difoto. Sekali aja. Formal enggak papa.”


Pria itu menoleh, tampak ragu. “Studio udah lama enggak dipakai. Lampunya banyak yang mati.”


“Gak masalah, Pak. Saya cuma pengin ada kenangan, bukan sempurna.”


Mereka diam sejenak. Lalu pria itu mengangguk. Ia mulai menyalakan lampu yang masih berfungsi, mengatur posisi kamera. Gerakannya lambat, seperti orang yang sedang menyentuh masa lalunya sendiri.


Boedy berdiri di depan latar putih pudar. Pria itu memegang kamera, mengintip dari jendela bidik. Tapi ia tidak langsung memotret.


“Kamu senyum, dong,” katanya pelan.


Boedy tertawa. “Saya pikir fotografer zaman sekarang udah enggak minta begitu lagi.”


“Sudah jarang. Tapi saya dulu selalu begitu.”


Klik.


Suara shutter terdengar. Boedy merasa ada sesuatu yang bergerak dalam ruangan itu. Bukan hanya udara, tapi juga kenangan.


Saat foto selesai, pria itu melihat layar kameranya. Senyum kecil muncul — pertama kalinya sejak Boedy masuk.


“Bagus,” katanya singkat.


Boedy mendekat. “Boleh nanya, Pak? Kenapa tempat ini kayak ditinggalin?”


Pria itu diam sejenak. Lalu duduk.


“Istri saya meninggal dua tahun lalu. Kami yang kelola studio ini dari awal. Semua yang di sini, dulu kami kerjakan bareng. Motret, edit, bersihin tempat, sambut pelanggan. Sejak dia pergi, saya nggak pernah motret orang lagi.”


Boedy menatap sekeliling. Kini semuanya terasa masuk akal — debu di bingkai foto, kaca buram, cahaya temaram.


“Motret orang jadi terlalu sepi, ya?” tanya Boedy.


Pria itu mengangguk pelan. “Bukan karena saya benci orang. Tapi karena saya takut… kehilangan senyumnya lagi. Dulu, istri saya selalu bantu orang senyum. Dia berdiri di samping saya dan bilang, ‘Yuk, senyumnya ditambah sedikit lagi.’ Sekarang, suara itu nggak ada.”


Boedy tak menjawab. Ia hanya duduk di kursi di seberang meja.


Beberapa menit berlalu. Lalu suara riuh terdengar dari luar. Anak-anak kecil lewat, pulang sekolah. Mereka tertawa, saling lempar canda, berlarian di depan studio.


Boedy bangkit, melongok ke luar. Ia menatap pria itu.


“Pak, boleh saya ajak anak-anak itu buat difoto di sini?”


Pria itu terkejut. “Mereka? Buat apa?”


Lihat selengkapnya