"Aku yakin ayahmu di bunuh."
"Kematian Ayahmu bukan bunuh diri."
"Kasus ini ditutup paksa."
"Harus ungkap kebenarannya."
Kata-kata Wood semalam muncul secara bergantian di benaknya diselingi dengan kenangan masa lalu. Berkelebatan cepat bagai kelelawar terpapar cahaya. Terkadang membias bercampur dengan memori acak. Dan Ryu--yang baru beberapa menit memejamkan mata--kembali terbangun dengan peluh di sekujur tubuh. Wajahnya pucat berkilau penuh keringat. Entah, harus dikategorikan sebagai apa mimpinya barusan. Jika itu mimpi buruk, semua tentang mimpinya menaut pada satu kebenaran. Jika itu mimpi yang baik, mengapa membuat tidurnya tak lelap dan bangun berpeluh?
**
Segaris sinar mentari menerobos masuk dari sela-sela gorden, menyorot tepat di muka Ryu. Namun Ryu sudah bangun. Bukan. Ryu bahkan belum memejamkan mata sama sekali! Ia memikirkan cerita Wood semalam, berusaha mencerna. Bagaimana mungkin? Selama sekian tahun Ia percaya bahwa ayahnya bunuh diri karena kasus yang sedang ditanganinya tak kunjung menemukan titik terang. Sebuah kasus besar yang cukup menguras darah dan keringat.
Ia ingat ayahnya seringkali tak pulang kerumah. Lembur, katanya. Ryu pun mulai terbiasa dengan ketidak pulangan sang ayah. George Anderson, seorang penyidik profesional berpangkat Letnan Jenderal yang telah banyak berjasa bagi Kepolisian Pusat Inggris Raya. Ryu berani berkata bahwa ayahnya gila kerja. Hal itu pula yang menyebabkan Ibunya memilih kembali ke kampung halamannya di Jepang dibanding tetap bertahan dengan Ryu dan ayahnya. George jarang punya waktu untuk keluarga, kata ibunya. Bagi George, hanya ada kasus, kasus, dan kasus. Ibunya tak tahan, tak bisa mengikuti alur kerja seorang workaholic seperti George. Ia merasa diabaikan. Ia merasa tak dianggap sebagai seorang istri.
Masih teringat sangat jelas di benak Ryu kecil, Ibunya kerap kali menangis setelah menerima telepon dari ayahnya yang berpamitan untuk tidak pulang kerumah karena lembur. Ayahnya bahkan pergi bekerja di hari Minggu dan hari libur nasional. Dan suatu hari di musim dingin, saat salju pertama turun malam harinya, Ibunya pergi. Pergi dan tidak lagi kembali hingga kini. Hanya meninggalkan secarik kertas dengan pesan sesederhana 'Aku pulang...'. Pesan yang baru dibaca George keesokan harinya saat Ia pulang dari lembur. Pesan yang ditemukan George saat Ia membuka pintu dan menemukan Ryu kecil menangis sesenggukan dari dapur karena tak menemukan sosok Ibunya di seluruh penjuru rumah. Pesan yang menampar George dengan keras bahwa bekerjapun ada masanya. Pesan yang mengubah George dari pria yang gila kerja menjadi ayah yang harus selalu menyediakan waktunya untuk Ryu kecil, karena istrinya yang juga ibu dari Ryu, meninggalkan Ryu kecil begitu saja berdua bersamanya.
**
9 tahun silam, kerja keras ayahnyalah yang membuatnya memutuskan untuk terjun ke dunia investigasi. Usianya masih cukup belia saat itu, baru menginjak 16 tahun saat pertama kali Ia menginjakkan kakinya di Markas Besar Kepolisian Pusat Inggris Raya. Bukan suatu kesengajaan, sebenarnya. Saat itu Ryu sedang mengantar makan siang milik sang ayah yang tertukar dengan miliknya. Kebetulan hari itu ada rapat dewan guru di sekolahnya sehingga Ia bisa bergegas menuju kantor ayahnya. Ia menunggu di sebuah ruangan tempat penyelidikan awal dilakukan. Menunggu cukup membuatnya bosan, sampai Ia menemukan sesuatu yang cukup menyita perhatiannya. Investigasi.
Di sudut ruangan terlihat seorang opsir muda terlihat sedang mengetik dengan serius laporan dari lelaki berusia kurang lebih setengah abad, yang melapor dengan bersungut-sungut. Lelaki yang lebih muda, di sebelahnya, terlihat tidak terima dengan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
"Aku sungguh tak mengerti maksud dari pak tua ini, Tuan Penyidik."
"Jangan banyak beralasan kau! Semua sudah jelas! Pak Polisi, Anda harus menahan anak muda ini!"
Penyidik muda itu terlihat kewalahan menghadapi mereka. Keringat bercucuran di dahinya meskipun saat ini mereka berada di ruangan berpendingin udara.
"Tenanglah pak. Suara Anda terlalu keras."
Mereka berdua--si Pelapor dan si Terlapor--beradu argumen beberapa kali. Saking sengitnya, 10 menit Ryu berada di dalam ruangan yang sama bisa membuatnya paham apa yang sedang terjadi di antara mereka.
Lelaki yang lebih tua, si Pelapor yang Ryu dengar bernama Blunt, mengadu bahwa Ia merupakan korban pencurian yang akhir-akhir ini terjadi di kota dan dia mencurigai pemuda di sampingnya sebagai tersangka. Ia mengungkapkan bahwa pemuda ini--katanya sambil menuding muka pemuda disampingnya yang kemudian diketahui Ryu bernama Forsky--belakangan ini seringkali lewat di depan rumah Blunt sambil melirik ke dalam rumah dan bersiul. Blunt berasumsi bahwa siulan Forsky adalan tanda untuk temannya sesama pencuri yang sudah bersiaga di persembunyian mereka yang tidak jauh dari rumahnya. Ia yakin bahwa Forsky merupakan komplotan dari pencuri yang menjarah hartanya.
Sang opsir polisi bertanya, apa sajakah benda yang hilang tersebut. Blunt menyebutkan sejumlah daftar barang hilang dari rumahnya.
"Laptop beserta ponsel milik putri semata wayangku hilang! Tepat setelahnya, pemuda ini selalu mondar-mandir di depan rumahku dan bersiul. Aku yakin itu tanda!"
Forsky terhenyak saat Blunt mengatakan bahwa ponsel putrinya hilang. Ekspresi kagetnya tertangkap mata Blunt.
"Kau lihat! Pak Polisi, kau lihat itu! Dia terkejut, kan! Pasti dia kaget aku mengetahui rahasianya!"
Di sudut lain ruangan, Ryu tersenyum. Ia berdiri dari kursi tunggu yang mulai membuatnya pegal dan menginterupsi berdebatan di ujung ruangan.
"Sejujurnya, Pak Polisi, akan menjadi sebuah kesalahan besar jika Anda menahan Tuan Forsky sekarang. Karena jelas dia bukanlah bagian dari komplotan pencuri yang menjarah harta Tuan Blunt. Dan mungkin saja, pencuri yang sebenarnya masih akan berkeliaran di sekitar rumah Anda malam ini."