George Anderson, penyidik profesional berpangkat Letnan Jenderal yang mengepalai Divisi Kriminal Lanjutan sub divisi Narkotika dan Obat-obatan Terlarang di Kepolisian Pusat Inggris Raya sejak 2 tahun yang lalu, saat ini dihadapkan dengan sebuah kasus yang cukup rumit. Kasus narkoba yang baru-baru ini menggemparkan Inggris belum menemukan titik temu.
Baginya, kasus ini cukup menguras tenaga. Penyelidikan demi penyelidikan yang dilakukan bersama tim inti belum juga membuahkan hasil. Sebelumnya, tidak ada kasus yang lolos dari penangkapan berkat kerja keras divisi ini.
Tak heran malam demi malam terlalui dengan jam lembur. Ia tahu, istri dan anaknya memprotes penambahan jam kerja yang Ia pilih. Quality time bersama keluarga bersedia dipangkas demi kasus satu ini.
Dua bulan lalu, sebuah laporan tentang penyalahgunaan narkoba masuk ke divisi pimpinannya. Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun berinisial H ditemukan tidak bernyawa di kamarnya saat sang ibu hendak membangunkannya untuk pergi ke sekolah. Setelah dilakukan autopsi diketahui dalam tubuhnya terdapat kandungan obat terlarang yang termasuk dalam jajaran narkotika. Ibu korban mengaku bahwa 2-3 hari belakangan anaknya lebih suka menyendiri di dalam kamar padahal sebelumnya H dikenal sebagai anak yang periang dan suka bermain di luar rumah.
Tiga hari setelahnya, terjadi peristiwa yang sama di kota Cortfield, 15 mil kearah utara dari Roschet. Korbannya seorang anak perempuan dengan inisial A berumur 3 tahun lebih muda dari korban pertama. Hasil autopsinya tidak jauh berbeda. Pengakuan orang tua korbanpun mirip, anak mereka menjadi lebih pendiam dan pemurung. Polisi divisi narkoba dari kedua kota langsung melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Pusat. Kasus ini dinilai cukup meresahkan masyarakat karena menyangkut anak-anak usia sekolah dasar.
Belum selesai 2 kasus sebelumnya, kasus ketiga terjadi. Kali ini terjadi di kota yang sedikit lebih jauh, kota di pesisir Laut Keltik. Korbannya pun sedikit lebih tua, yaitu gadis sekolah menengah pertama yang baru saja naik ke kelas 9. Lagi-lagi, orang tua korban melaporkan ciri yang sama persis dengan korban-korban lain. Hasil autopsipun menyatakan bahwa korban telah mengkonsumsi narkotika dengan jenis yang sama seperti yang ditemukan dalam tubuh korban sebelumnya.
Polisi mulai kebingungan. Modus operandi pelaku pengedar narkoba ini belum bisa dideteksi. Korban mereka acak, tanpa ada hubungan yang bisa di tarik benang merahnya. Kota yang diserangpun tidak terlacak polanya. Alhasil, kepolisian harus bekerja lebih keras untuk menghentikan kasus yang mengancam anak-anak usia sekolah ini.
Tak terkecuali George. Sebagai pimpinan divisi, tentu saja sudah menjadi tanggung jawabnya untuk meng-handle kasus ini. Tak ada petunjuk. Tak ada pola. Tak ada modus operandi. Yang Ia tahu, para pengedar ini berniat menghancurkan generasi muda. Tak bisa dimaafkan.
**
Kantor Kepolisian Pusat mulai lengang sore itu. Hanya ada beberapa opsir muda yang piket dan menyelesaikan laporan mereka. George masih duduk di belakang meja kerjanya. Menangkupkan kedua tangan di bawah dagu. Layar komputer masih menyala, begitupun kipas angin yang berkeretak pelan saat berputar. Tatapan George yang tajam mengedar ke seluruh ruangan. Menilai gorden yang mulai kusam, kipas angin berisik yang seharusnya diganti, hingga noda kecil di kaca yang tak bisa hilang entah bekas apa. Namun sejatinya pikiran George melayang. Memikirkan potongan-potongan kasus yang menari indah bergantian di kepalanya.
Tok ... Tok ...
George tersentak pelan. Pikiran yang tadi melayang seketika kembali.
"Masuk!"
Seorang anggota subdivisi masuk membawa setumpuk map berkas perkara. Apa lagi ini, batin George. Baru saja Ia hendak mengistirahatkan otaknya, kasus baru sudah menanti. Jose, lelaki yang baru saja masuk ke ruangannya tadi, langsung menduduki sofa di tengah ruangan tanpa menunggu dipersilakan.
"Sebuah laporan baru masuk, Pak."
Map seukuran kertas folio disodorkan. Beberapa foto langsung menyembul keluar saat map teratas dibuka. Seorang lelaki bertopi hitam yang terlihat melawan saat kawanan pria berseragam anggota DfT (Departement for Transport) mencoba menggiringnya menuju Kantor Keamanan Bandara. George mendongak memandang Jose. Bertanya tanpa kata, apa ini?
"Salah seorang penumpang penerbangan Internasional baru mendarat di Bandara Internasional Inggris Raya. Dia menolak untuk diamankan meski jelas bagian keamanan mendapati kristal putih berbutir halus dibalik kepala gespernya. Disembunyikan dengan rapi yang mungkin tidak akan diketahui orang awam jika saat itu tak ada insiden yang membuat kepala gespernya lepas."
Dahi George berkerut. Meminta penjelasan. Mempersilakan Jose melanjutkan ceritanya, masih tanpa suara.
"Seorang balita yang berada tepat di barisan belakangnya menarik gesper milik pemuda itu hingga terbanting dan terlepas. Isinya berhamburan keluar namun si pemuda enggan mengakui bahwa itu miliknya."
Ada tiga buah foto barang bukti yang Ia sodorkan. Foto pertama merupakan barang bukti utama berupa seplastik kecil kristal putih. Satu foto memperlihatkan sebuah sabuk dengan gesper yang sudah terlepas bersama dengan kepala gesper metal tiga dimensi berbentuk kepala singa dengan surainya yang mengembang. Foto yang lain berisi kepala gesper yang sama namun tampak dari belakang. Ada cekungan yang sangat pas dengan barang bukti utamanya.
"Nama yang tertulis di paspor adalah Alejandro Piqque. Namun kami sanksi itu bukan nama aslinya."
Jose menyodorkan foto lain. Tampak jelas wajah seorang lelaki berkulit eksotis dengan rambut bergelombang berantakan berwarna hitam dengan hidung yang pendek. Bola matanya berwarna cokelat gelap memandang marah dengan tajam kearah kamera. Struktur tulang pipinya agak tinggi. Wajahnya lebar dan terlihat ramah, namun kali ini bukan keramahan yang terpancar dari wajah tersebut.
Ada bekas jahitan di pelipis kanan yang terlihat di foto kedua, foto yang diambil dari sisi kanan dengan topi yang telah terlepas. Bekas tindikan di telinga kirinya terlihat di foto berikutnya yang diambil dari sisi kiri.
"Struktur wajahnya serupa ras Ainu yang secara umum dapat ditemukan di beberapa pulau di Jepang. Sungguh bertolak belakang dengan identitas diri yang tertera dalam paspornya."
Kursi putar di belakang meja kerja itu berderit saat George menyandarkan punggungnya. Ia menghela nafas, mencoba menjernihkan pikiran. Menjawab keraguan Jose dengan bahu yang terangkat dan alis yang naik sebelah.
"Mungkin saja memang kewarganegaraannya di negara bagian Amerika Latin?"
"Yah, semua kemungkinan memang bisa saja terjadi."
Sambil menyusul menghela nafas, Jose meraih map kedua.
"Ini hasil identifikasi barang bukti yang ditemukan bersama Alejandro."
Amplop putih berkop Badan Narkotika Nasional Inggris Raya yang telah terbuka diberikan kepada George. Tertanggal 2 hari yang lalu. Surat singkat dengan 3 lampiran penuh tabel dan deretan angka yang rumit menyatakan secara lugas bahwa kristal putih dalam plastik kecil yang dibawa tersangka Alejandro adalah heroin seberat 1,32 gram.
"Dan apakah tersangka ini positif?"
Jose menyodorkan amplop lain dengan kop yang sama. Kali ini berisi hasil pemeriksaan dan keterangan pemakaian narkotika atas nama si Tersangka. Positif.
"Dan kurasa ini bisa menjadi bukti penguat berikutnya."
Amplop terakhir dalam map itu dibuka. Beberapa lembar kertas folio berupa hasil kopian paspor tersangka. Selain perjalanan antar negara yang Ia lakukan hari ini, terdapat beberapa perjalanan tertanggal 2 bulan yang lalu. Jose menyodorkan berkas-berkas 3 kasus sebelumnya sebagai pembanding.
"Tanggal yang sama."
"Tinggal telusuri kota yang Ia tuju selama berada disini dan boom, terungkap!"
Sembari membereskan isi map, George meneliti sekali lagi berkas-berkas yang berserakan.
"Kalau begitu, lakukan. Selidiki siapa dia, apa yang dilakukannya, dimana dia pada hari kejadian, dan laporkan semuanya padaku."
Jose tertawa. Ia bangkit dari duduknya.
"Itu yang kutunggu, perintah penyelidikan. Kau tahu, aku tidak bisa bergerak tanpa perintahmu. Aku berjanji akan mengungkap kebenaran yang disembunyikan pemuda tengil ini. Thanks Georgie."