Terkadang yang membuat aku malu pada diriku sendiri adalah ketika aku memiliki suatu kemampuan namun tidak berani memperlihatkan kemampuanku pada orang lain hanya karena dua alasan yaitu, malu dan ragu.
Seperti yang kurasakan saat ini. Ketika teman-temanku sedang asik berjuang untuk memperoleh kemenangan aku malah berpangku tangan. Menonton dari sisi lapangan sambil mulut tak berhenti berdoa agar teman-temanku bisa memenangkan lomba yang diadakan untuk memperingati hari ulang tahun sekolah.
Teman-temanku terlihat antusias sekali ketika pertama kali diumumkan akan diadakan lomba. Bahkan banyak dari mereka yang langsung angkat tangan untuk mewakili setiap lomba yang diselenggarakan. Sedangkan aku cuma bisa diam sambil sesekali meremas sisi rok karena tidak berani menyalurkan bakatku untuk mewakili lomba yang diadakan.
Tapi, jika aku pemalu, berbeda halnya dengan sahabatku Shila yang semangat juangnya patut di acungi jempol. Dia begitu bersemangat ketika ada lomba basket, bahkan saat ini dia sedang berjuang berebut bola basket di lapangan sana yang membuatku beberapa kali menarik sudut bibir ketika melihat tanganya yang dengan lihai mendribble bola.
Dan jika Shila jago dalam bermain basket, aku lebih suka bermain voli. Karena sejak kecil ayah sering mengajakku bermain voli, entah itu di halaman rumah atau bahkan di lapangan dekat komplek. Dan sejak saat itu, aku mulai menyukai olahraga voli.
Ketika aku sibuk mengenang masa lalu, kepalaku dengan segera terangkat ketika melihat Shila berhasil merebut bola dari lawan mainnya. Dengan hitungan detik, Shila mampu membuat banyak orang terpana melihat aksinya memasukkan bola ke dalam ring dengan gaya jump shoot nya.
Shila langsung bersorak kegirangan ketika bolanya berhasil masuk ke dalam ring, dan beberapa teman ku yang juga ikut bermain basket reflek saling meluk Shila, mengucapkan selamat karena Shila berhasil memenangkan lomba ini. Dan aku juga ikut tersenyum melihatnya.
Tak lama setelah itu Shila berlari menghampiriku dari arah lapangan, begitu sudah dekat dia langsung memelukku untuk membagi keringat nya ke seragam olahraga ku.
"Ya ampun Eya, aku nggak nyangka dong bisa menangin lomba ini." Katanya setelah melepas pelukannya dariku.
Aku berdecak pelan mendengar kalimatnya ketika memanggil namaku. Bukan untuk pertama kalinya namun, sudah hampir berulang kali Shila mengulang panggilan yang sama padahal aku tidak menyukainya.
Jadi, namaku itu Wafiyyah Eyalani. Ummi ku sering memanggilku Waf, dan keluargaku juga memanggilku dengan sebutan itu. Dan aku pun juga lebih suka dipanggil Waf, karena menurutku panggilan Waf itu lebih berbobot.
Tapi ketika Shila dengan kebiasaannya memanggilku Eya kerap kali aku merasa jengkel. Karena gara-gara panggilan istimewa yang diberi Shila padaku, teman-temanku lebih sering memanggilku dengan panggilan Eya yang belakangnya di beri huruf N sama G. Aku tidak mau meneruskannya, karena kalian bisa rangkai sendiri nama Eya jika di tambah kedua huruf itu gimana.
"Waf!" Ralat ku dengan suara pelan. Dan bukannya merasa bersalah, Shila justru malah tertawa mendengar nada ketusku.
Kami kemudian duduk di kursi sisi lapangan yang tempatnya tak jauh dari tempat kami berdiri.