"Ayah?"
Ayah memalingkan wajah dari berlembar-lembar kertas yang berserakan di meja kerjanya—menatapku penuh tanya.
Ketika itu, usiaku 8 tahun. Aku baru saja selesai membaca buku kumpulan dongeng anak-anak—satu di antara ratusan buku tebal yang ayah miliki. Menurut ayah, buku yang kubaca adalah satu dari sekian buku yang sangat populer di masa lalu.
Dibandingkan ruangan lain yang ada dalam markas rahasia ini, ruang kerja ayah lah yang memiliki ukuran paling besar, dan paling sesak oleh buku. Di masa sekarang, tidak banyak orang yang memiliki buku. Bisa dibilang buku merupakan barang antik dan hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Jika kita ingin mengakses informasi, kita bisa mendapatkannya melalui media digital. Dengan begitu, mudah bagi pemerintah untuk melakukan propaganda, menanamkan pemahaman yang salah, dan berbagai hal lainnya. Karena tidak seperti buku, media digital lebih mudah diatur dan diubah mengikuti keinginan para pemimpin.
"Kenapa seorang putri harus menunggu bertahun-tahun hanya untuk diselamatkan oleh pangeran?" Tanyaku tidak mengerti. "Tidak bisakah ia menyelamatkan dirinya sendiri?"
Ayah menatapku bimbang. "Beri ayah waktu untuk memikirkannya,,," ucapnya, bersandar di bangku. Ia mengetuk-ngetuk jarinya, seperti yang selalu ia lakukan ketika sedang mencari jalan keluar untuk masalah yang pelik.
Ayahku, profesor Garry Gardin, usia 61 tahun, adalah seorang ilmuwan paling jenius yang pernah ada di Bumi. Namun lihatlah, begitu mendengar pertanyaan sederhanaku, ia kebingungan dan butuh waktu lama baginya memikirkan jawaban yang tepat.
"Ah, menurut dugaan ayah, bisa jadi sang putri tidak bisa melawan penyihir jahat seorang diri." Jawabnya setelah lama terdiam.
Jawaban itu tidak memuaskanku. "Mana mungkin seperti itu. Bukankah wanita itu makhluk yang kuat dan mengerikan, ayah?"
Ayah mengangguk pelan, menggaruk dagunya yang ditumbuhi bulu putih tipis. "Ya, mereka memang kuat, tapi sesungguhnya tidak terlalu mengerikan. Namun, bukan itu inti masalahnya. Ingatlah ini baik-baik, Gab. Terlepas dari seberapa kuat kaum wanita, tetap saja, pada hakikatnya menyelamatkan seorang wanita, adalah tugas seorang pria. Pria sejati sudah seharusnya menjaga dan melindungi wanita. Itulah mengapa sang putri rela menunggu lama agar bisa bertemu dengan pangeran, seseorang yang bersedia memberikan hidupnya untuk menyelamatkan putri."
"Jika yang ayah katakan benar, lalu mengapa pria dan wanita berperang saat ini? Bukankah pria seharusnya melindungi wanita, bukan malah berusaha untuk melenyapkannya." Aku masih tidak mengerti.
Ayah tersenyum mendengar pertanyaan gigihku. Ayah berdiri lalu berjalan menghampiriku yang masih menanti jawaban darinya.
"Kau tau, nak? Sejak peradaban manusia terbentuk, sejak dulu kala, pria sering melakukan kesalahan dalam hidupnya. Entah itu besar atau kecil, sadar atau tidak, seperti itulah pria. Sayangnya, pria terlalu angkuh untuk menyadari dan meminta maaf atas kesalahannya itu. Terutama pada wanita." Ayah menghembuskan napas. "Maka 86 tahun yang lalu, bagi wanita, pria tidak lagi menjadi pangeran yang dinanti-nantikan, melainkan berubah menjadi penyihir jahat yang selalu menyakiti bukan melindungi. Wanita pun memutuskan untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Karena itu, Bumi yang kita diami kini berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi rumah yang indah dan nyaman untuk ditinggali."
Aku terdiam menatap wajah lelah ayah. "Ayah,,, tidak bisakah pria kembali menjadi pangeran?"
Sekali lagi ayah tersenyum. Ia menepuk lembut pundakku. "Itu yang selama ini ayah impikan, nak."
"Bisakah ayah mewujudkannya?"
"Ayah akan berusaha sebaik mungkin. Ayah janji, kita akan menemukan cara untuk mengubah pria menjadi pangeran, dan mengembalikan Bumi seperti dulu lagi."
Aku tersenyum, senang. "Aku percaya pada ayah. Ayah adalah orang paling jenius dan hebat yang ada di dunia. Ayah pasti bisa!"