'Jangan takut.'
Takut...
Sesungguhnya, ada banyak rasa takut dalam diriku. Aku takut bila harus meninggalkan markas rahasia. Aku takut saat melihat ayah tertidur, dan tidak pernah terbangun lagi. Aku takut saat harus memulai perjalanan dengan kapsul waktu. Banyak yang aku takutkan dalam hidup ini. Meski pada akhirnya, waktu selalu mampu membantuku melewati semua rasa takut itu.
Namun,,, kali ini rasanya berbeda. Rasa takut ini, sesuatu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Di dimensiku—tahun 2345, bertemu secara langsung dengan seorang wanita, sama halnya seperti bertemu dengan kematianmu sendiri. Tidak ada seorang pria pun yang bisa merasa tenang, apalagi pria sepertiku—pria yang tidak mengerti apapun tentang perang. Dan jujur saja, sosok wanita yang ada di hadapanku ini, terlihat sangat menakutkan.
Wanita ini mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit hewan bernama macan. Aku mengenali motifnya dari salah satu buku yang kubaca. Bisakah kau membayangkan? Wanita macam apa yang sanggup membunuh, menguliti, dan menjadikan kulit salah satu hewan predator terkuat sebagai pakaiannya? Ditambah lagi wanita itu mempersenjatai dirinya dengan sebuah tombak berujung lancip. Dia bisa mencabut nyawaku kapanpun dia mau. Bagaimana mungkin aku tidak merasa takut?
Namun, bukankah ini dimensi waktu yang berbeda? Bukankah ini Bumi yang lain? Boleh jadi, wanita di hadapanku ini tidak seperti wanita yang hidup di tahun 2345. Boleh jadi, dia wanita yang baik, seperti yang dikisahkan dalam buku-buku yang kubaca selama ini. Boleh jadi, dialah sang putri yang sedang menantikan kedatangan pangeran. Tapi,,, untuk apa seorang putri membawa senjata yang sangat mematikan itu? Jika ia menikam jantungku dengan tombak itu, aku pasti mati dalam hitungan detik—tanpa kusadari.
Wanita itu memandangku untuk sesaat, lalu ia berlutut menyesuaikan posisinya denganku—yang saat tertangkap olehnya, sedang dalam posisi mengintai. Lalu ia kembali tersenyum. Aku,,, tidak pernah melihat senyum seramah dan seindah itu.
"Kamu siapa?" Tanyanya, dengan suara lembut.
Itu pertanyaan mudah, tetapi sulit untuk dijawab. Lidahku keluh, rasa takutku terlalu besar hingga tidak ada kata yang bisa kuucapkan. Seumur hidup, aku belum pernah bertemu langsung dengan wanita. Aku hanya melihat gambar-gambar mereka di berbagai poster propaganda yang dipasang oleh pemerintah—di setiap sudut kota maupun media-media digital. Dan aku berani bersumpah, tidak satu pun dari gambar-gambar itu yang menunjukkan sosok wanita yang sedang tersenyum. Hanya wajah marah, penuh kebencian, dan sangat mengerikan. Jadi, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu, saat aku merasa hidupku sedang berada diambang kematian?
Ia mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu pasti sudah lama tersesat di hutan. Kamu berasal darimana?" Tanyanya tanpa melepas pandangan dariku.
Aku tau ada yang berbeda dengan wanita ini. Aku bisa merasakannya. Wanita ini jauh lebih ramah, lebih ceria, dan sangat banyak bertanya. Dia mungkin sosok wanita yang baik, hanya saja keyakinan itu tidak mampu mengusir rasa takut dalam hatiku.
"Bagaimana kamu bisa sampai di hutan ini? Sepertinya kamu tidak berasal dari perkampungan yang ada di wilayah ini. Apakah kamu lapar?"
Wanita di hadapanku terus saja bicara, meski aku hanya diam—mematung.
"Aku akan menolongmu." Ucapnya tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. "Baiklah. Sekarang, ikut aku. Aku akan membawamu ke perkampunganku. Disana ada banyak makanan, pakaian bersih, dan kamu bisa beristirahat dengan baik. Kita bicara lagi nanti, saat kondisimu sudah lebih baik. Kau terlihat sangat terguncang." Dia lalu berdiri, menegakkan kembali tombaknya.
Bersamaan dengan itu, rasa takut kembali menguasaiku. "Jangan! Jangan bawa aku ke markas kamu. Aku mohon, lepaskan aku." Jeritku, mengiba-iba.
Dia menatapku dengan kening bertaut. Lalu ia tertawa. "Markas? Bicara apa kamu? Aku hanya ingin mengajakmu ke perkampungan suku kami. Tempat dimana aku tinggal."
"Tidak. Tidak! Kumohon, lepaskan aku. Aku hanya seorang ilmuwan. Aku bukan anggota militer. Aku tidak mengerti perang. Jangan bawa aku, kumohon." Pintaku, semakin ketakutan.
Wanita itu menatapku, bingung? "Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak mengerti. Aku hanya ingin menolongmu. Kamu tidak perlu takut." Ia meletakkan tombaknya, duduk bersila di hadapanku. "Kamu pria yang aneh." Ucapnya sambil menghembuskan napas. "Tadinya kupikir kamu tidak bisa bicara. Jadi, siapa nama kamu?"
"Gabriel." Kali ini, aku berhasil menjawabnya. "Surya Gabriel."
Mata wanita itu melebar. "Itu nama yang bagus. Surya seperti sebutan untuk matahari, dan Gabriel seperti nama malaikat."
"Itu nama pemberian ayah."
Ia mengangguk, mengerti. "Pasti ia berharap kamu akan menjadi seperti malaikat yang membawa harapan bagi dunia."
Aku hanya diam. Wanita itu, pandai. Dia memahami segala hal dengan mudah.
"Kalau aku, namaku Roro Agung Puspita." Ucap wanita itu, meski aku tidak menanyakan apapun tentangnya. "Roro Agung adalah gelar yang kuwarisi dari ayah, karena ayah adalah kepala desa suku kami. Kalau Puspita, artinya bunga. Kata ayah, aku diberi nama Roro Agung Puspita karena aku adalah bunga terindah yang ada di dunia dan hanya dialah yang memilikinya." Ia memamerkan senyuman.
"Ayah?" Tanyaku, tertarik pada kata itu—mengabaikan ocehan panjangnya. "Kamu punya ayah?"
"Tentu saja. Sama sepertimu, aku pun memiliki ayah." Jawabnya menatapku tidak mengerti.