"Jadi,,, sekarang tahun 2012?"
Pita mengangguk. "Bagaimana bisa kamu tidak mengetahuinya?"
'Karena aku berasal dari tahun 2345.' Batinku. Aku mengangkat bahu—entahlah. "Aku sudah terlalu lama di lautan, hingga sulit bagiku untuk membedakan hari, tanggal, ataupun tahun." Jawabku, berusaha terdengar tidak peduli. Mana mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Pita?
Sekarang, sudah satu minggu aku mengenal Roro Agung Puspita. Dia sangat berbeda dari wanita manapun yang hidup di dimensiku. Pita gadis yang ceria dan selalu tersenyum. Tidak sekali pun aku melihat kebencian atau keinginan untuk membunuh dalam tatapannya. Sikapnya yang lembut perlahan mampu mengenyahkan rasa takutku.
"Kamu bilang, kamu terdampar di pulau ini, bukan? Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Kami sedang duduk di atas sebuah undakan batu, menatap hamparan rumput hijau dimana terdapat beberapa burung terbang rendah, saling berkejaran.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Beberapa bulan yang lalu, aku dan ayah menaiki sebuah kapal besar. Awalnya, semua baik-baik saja. Itu kali pertama kami melakukan perjalanan jauh melalui lautan. Hingga suatu malam, mesin kapal tiba-tiba mengeluarkan suara aneh yang sangat kencang. Aku tidak tau apa yang terjadi. Ayah mencoba menenangkanku, tapi aku tau sesuatu yang buruk sedang terjadi. Tidak lama setelahnya terdengar bunyi ledakan yang sangat dahsyat. Semua terjadi dalam hitungan detik. Kapal yang semula memberi rasa aman dan damai, hancur berantakan. Aku terlempar ke tengah lautan." Aku terdiam, seolah berusaha mengingat sesuatu. "Aku mengambang di atas air entah untuk berapa lama, hingga akhirnya aku melihat sekoci penyelamat. Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku mencoba menghampiri sekoci itu. Aku mendayung berkeliling, mencari ayah dan penumpang lain yang mungkin masih bertahan hidup. Ratusan mayat mengambang memenuhi lautan. Ada yang hancur akibat terkena ledakan, ada pula yang mungkin tidak bisa berenang lalu tenggelam. Tidak ada yang bertahan selain aku. Untungnya aku menemukan beberapa persediaan makanan. Aku mengambil semua yang bisa dimakan, lalu mencoba mencari bantuan. Setelah mendayung berhari-hari aku akhirnya terdampar di pulau ini." Aku menutup kisah karanganku. Tentu kisah ini tidak benar terjadi. Aku mengarang kisah itu berdasarkan pada buku-buku yang pernah kubaca.
"Sudah berapa lama kamu berada di pulau ini?" Tanyanya, dengan raut penasaran.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah, yang pasti sudah cukup lama."
"Dimana kamu tidur?"
"Aku berpindah-pindah tempat. Terkadang di atas pohon, terkadang beralas rumput. Aku tidur dimana saja."
"Kamu tidak takut pada hewan buas?"
"Tidak."
"Saat kita bertemu, kenapa kamu pergi begitu saja?"
"Aku,,, takut. Aku hanyalah orang asing yang sedang bersembunyi, lalu kamu muncul dibelakangku membawa sebuah tombak..." Aku melirik ke arah tombaknya. "Jika jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?"
Pita terdiam. "Kamu benar." Gadis itu seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kamu pasti kesepian."
"Kesepian?"
Pita mengangguk. "Terdampar di pulau ini seorang diri, tidak ada keluarga, tidak ada teman, tidak tau berada dimana,,, pasti terasa sepi." Ia terdengar sedih.
Aku memikirkan ucapannya. "Aku sudah terbiasa. Dibandingkan sepi, aku lebih takut pada seorang wanita yang muncul tiba-tiba, membawa tombak tajam, memakai pakaian yang sangat aneh." Ejekku.
"Kamu menghina pakaianku? Memangnya kamu tidak sadar betapa anehnya pakaian yang kamu gunakan?" Balas Pita, nada suaranya kembali terdengar riang. "Kamu berasal dari planet mana?"
Jadi, menurutnya pakaianku ini terlihat aneh? Di tahun 2345, sebagian besar pakaian dibuat dengan menggunakan bahan polimer yang elastis—hampir sama seperti jas hujan di masa lampau. Pakaian jenis itu dianggap lebih efisien karena bisa dicuci dengan air, tanpa detergen. Pakaian yang kugunakan, lebih menyerupai pakaian astronot. Tentu saja bagi Pita pakaian jenis ini, jauh lebih aneh dibandingkan dengan pakaian kulit hewannya.
"Memangnya apa yang aneh dengan pakaian ini? Pakaian seperti ini bisa dicuci hanya dengan air saja dan jauh lebih cepat kering bila dibandingkan dengan pakaian kamu." Sahutku, membela diri.
"Pakaian kamu itu tidak ramah lingkungan, tidak enak dilihat. Dan apa katamu tadi? Hanya perlu dicuci dengan air? Astaga, aku tidak mau memakai pakaian seperti itu." Ucap Pita, mengernyitkan dahi.