Wajah Bumi

SavieL
Chapter #8

.: Mamuhare :.

Sore itu aku membulatkan tekad untuk mengunjungi perkampungan Pita. Seperti biasa, Pita terlihat sangat bersemangat, berjalan beriringan denganku. Ia terus bicara di sepanjang perjalanan. Aku tidak keberatan. Aku suka mendengarnya bicara.

"Kampungku bernama Mamuhare. Kamu pernah mendengarnya?"

Aku menggeleng.

Ia mengangkat kedua bahunya—acuh. "Tidak masalah. Mamuhare hanyalah sebuah kampung kecil yang terletak di bagian timur dunia. Wajar bila tidak banyak yang mengetahuinya. Tapi asal kamu tau, disinilah awal matahari terbit. Kampungku tidak sebesar ataupun semaju kampung-kampung yang lain, tapi kami bahagia menjalani kehidupan disana."

"Apakah pria dan wanita selalu hidup dengan damai, disana?"

Pita mengangguk. "Tentu. Meski terkadang ada pertengkaran, tapi semua selalu berakhir dengan damai. Lagipula, pertengkaran itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai alasan untuk saling membenci."

"Tapi pria dan wanita selalu memiliki pandangan yang berbeda. Prinsip yang berlawanan..."

"Lalu kenapa?" Potong Pita. "Tidak perlu jadi pria atau wanita hanya untuk mencari perbedaan. Karena pada dasarnya setiap manusia memang berbeda. Kita tidak akan pernah bisa sama. Karena itulah kita harus belajar untuk saling menerima, bukan saling menyalahkan."

Aku tersenyum mendengarnya. Wanita ini, sungguh hebat. Mengapa di dimensiku, tidak seorang pun yang memiliki pemikiran seperti itu. Padahal secara teknologi dan ilmu pengetahuan, kami jauh lebih maju daripada dimensi ini.

"Kamu tidak akan membenci seseorang jika kamu mau belajar untuk memaafkan. Bukankah setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya?" Lanjut Pita.

"Jika aku melakukan kesalahan, maukah kamu memaafkanku?"

"Tergantung..." Ucapnya, lalu berlari meninggalkanku sambil menjulurkan lidah.

Aku menatap Pita, takjub. Ada perasaan aneh yang muncul untuk pertama kalinya dalam hatiku, demi melihat wanita itu yang tengah berlari kegirangan—mengejekku. Perasaan yang tidak kukenali. Perasaan yang belum aku mengerti.

° ° °

Tepat di depan gerbang masuk perkampungan, langkahku bergetar. Aku berhenti melangkah. Menimbang kembali, apakah ini keputusan yang tepat? Belum terlambat bagiku untuk kembali. Bagaimana kalau semua ini hanya jebakan?

Saat melihatku berhenti, Pita pun ikut menghentikan langkahnya. Ia menatap penuh tanya. Lalu, ia tersenyum padaku. Dalam senyum itu, aku merasa seakan ia ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada alasan untuk merasa takut.

Demi melihat senyum di wajahnya, aku mencoba mengumpulkan kembali semua keberanian yang kupunya. Bukankah aku masih bertahan sampai hari ini karena Pita? Entah apa jadinya bila ia tidak muncul dan menolongku saat itu. Ya, aku mempercayai Pita dengan sepenuh hatiku. Sinar di matanya, senyum di bibirnya, aku tidak melihat setitik pun kebohongan di dalamnya.

Jika semua yang ada di Bumi hanyalah kebohongan, aku akan tetap percaya kalau Pita tidak akan berbohong padaku. Dia dan ketulusan yang terpancar darinya, memberiku keberanian untuk menghadapi apapun. Aku membalas senyumannya, lalu aku melangkah dengan mantap.

Saat memasuki Mamuhare, aku melihat betapa tertinggalnya kampung itu bila dibandingkan dengan peradaban di tahun 2345. Beberapa buku memang menulis tentang Bumi pada jaman dahulu, yang masih terbagi dalam beberapa suku, dalam beberapa budaya, yang kehidupannya menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi dan tidak tersentuh oleh teknologi. Tetapi saat melihatnya secara langsung, sulit bagiku untuk mempercayai, bahwa ada sekelompok manusia yang mampu bertahan hidup dalam ketertinggalan teknologi seperti itu. Tidak ada listrik, smartphone, televisi, media digital, tidak ada apapun yang berbau teknologi di tempat ini. Bagaimana bisa mereka hidup dengan bahagia tanpa semua itu?

Penduduk Mamuhare tinggal dalam sebuah rumah sederhana dengan pondasi yang terbuat dari kayu, berdinding bambu, dan beratap daun palem. Kampung ini terletak di tengah hutan—dikelilingi pohon-pohon besar, dengan posisi rumah membentuk hurup U. Di tengah-tengah terdapat tumpukan kayu tinggi untuk membuat api unggun besar, yang dikelilingi tempat duduk yang terbuat dari kayu. Perkampungan dilindungi oleh pagar kayu yang diperkuat dengan bambu-bambu lancip.

"Penduduk Mamuhare memiliki banyak pekerjaan di siang hari." Pita menjelaskan. "Mereka harus mengolah lahan agar bisa digunakan untuk menanam bahan makanan. Ada juga yang harus pergi ke laut untuk menangkap ikan atau ke hutan untuk berburu. Alam menyediakan banyak sekali makanan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia, semua tergantung pada kita. Maukah kita bekerja untuk mendapatkannya?" Pita memulai penjelasannya.

Lihat selengkapnya