Inilah wajah Bumi yang sesungguhnya. Selama ribuan tahun, pria dan wanita hidup bersama dalam damai. Mereka ada di Bumi sebagai sebuah bentuk keseimbangan. Sayangnya, keseimbangan itu mulai hancur dalam 100 tahun terakhir usia Bumi. Menyisakan peradaban manusia yang terancam punah.
Aku telah membaca tentang sejarah Bumi ratusan kali. Memimpikannya setiap saat. Namun, saat harus berhadapan langsung dengannya—merasakan bagaimana sejarah itu terulang kembali, ternyata tidak semudah membayangkannya melalui buku.
Aku tetap tidak terbiasa dengan kehadiran wanita-wanita lain—kecuali Pita. Padahal sudah 2 minggu aku hidup bersama mereka dalam perkampungan. Selama berada disini, aku menyaksikan bagaimana pria membantu wanita dalam mengerjakan banyak hal, atau bagaimana pria dan wanita menghabiskan waktu bersama dalam canda dan tawa. Seperti yang dikisahkan oleh sejarah.
Namun, semua itu belum mampu mengubah caraku memandang sosok wanita. Aku tetap saja terkejut bila seorang wanita menyapaku. Terkadang aku bahkan bersembunyi untuk menghindari mereka. Entah mengapa aku tidak bisa menghadapi mereka sama seperti aku menghadapi Pita. Entah mengapa, caraku menatap mereka berbeda dengan caraku menatap Pita. Tidak ada getaran, tidak ada degup aneh, tidak ada bahagia...
Sepertinya, ayah Pita—Raja Agung Ganesha tidak menyukai sikapku itu. Suatu hari, saat aku sedang bersembunyi di belakang rumah kepala desa, menghindar dari sekelompok wanita yang ingin mengajakku ke hutan untuk mencari buah, secara tidak sengaja aku mendengar percakapan kedua orang tua Pita.
"Orang asing itu terlihat sangat aneh." Ucap Ganesha, pada istrinya.
Ratu Dewi Tyasari, tertawa mendengar ucapan suaminya. "Aneh kenapa?" Tanyanya.
"Saya selalu mengawasinya, bahkan sejak pertama kali ia datang ke Mamuhare. Dia hanya duduk di sudut kampung, mengawasi orang-orang yang lalu lalang." Ganesha terdiam. "Tidak seorang pun yang tau darimana asalnya. Saya curiga dia punya niat buruk untuk kampung ini."
"Entah dia punya niat buruk atau tidak, tapi yang pasti kamulah orang yang punya prasangka buruk saat ini. Kamu adalah pemimpin kampung ini. Sudah menjadi tugasmu untuk memberi pertolongan pada siapapun yang membutuhkannya." Ucap Tyasari dengan nada yang sangat lembut.
"Saya hanya tidak mau, penduduk kampung ini diperdaya oleh orang asing." Jawab Ganesha.
"Itu pun sudah menjadi tugasmu untuk menjaga penduduk Mamuhare. Jika memang ia memiliki niat yang buruk, aku yakin kamu bisa melindungi kami semua. Berhentilah berprasangka buruk, cobalah untuk menerimanya. Putri kesayanganmu itu, pasti akan marah bila mendengarmu bicara seperti itu tentang Gabriel."
"Nah, itu dia. Saya juga memiliki kecurigaan akan hal itu. Kenapa orang asing itu selalu baik pada Pita, tapi terus menjauh dari wanita-wanita yang ada di kampung ini? Tidakkah itu terasa aneh bagimu?" Ganesha sepertinya masih berusaha membuktikan kecurigaannya.
Tyasari tertawa lembut. "Pita adalah orang yang telah menyelamatkan hidupnya. Wajar jika ia mempercayai Pita lebih dari yang lain. Dia hanya belum terbiasa, dan mungkin masih trauma akibat kecelakaan kapal yang ia alami."
"Kenapa kamu terus membelanya?" Tanya Ganesha dengan nada menuduh.