Wajah Bumi

SavieL
Chapter #10

.: Bunga :.

Langit masih gelap, saat Pita menerobos masuk ke rumah yang menjadi tempat tinggalku. Embun masih menggantung, mentari masih enggan menampakan diri. Pita membuka jendela dengan tidak sabar, seketika udara pagi yang membekukan menyerbu masuk.

Aku menarik rapat kain yang menyelimuti tubuhku.

"Bangun pemalas." Ucap Pita, menarik lepas kain itu.

"Sebentar lagi." Aku meringkuk, mencoba menarik kembali selimutku.

"Hampir satu bulan kamu disini. Tapi kamu hanya tidur, makan, duduk melamun, tidakkah kamu merasa bosan?" Sekali lagi ia menarik lepas kain yang kugunakan. "Dan lihat, kamarmu ini jauh lebih berantakan daripada kandang ayam. Bagaimana bisa kamu tidur di tempat seperti ini?" Ocehnya.

Aku menutup wajah dengan bantal. Berusaha meredam ocehan wanita itu.

"Mau sampai kapan kamu menyendiri? Memangnya kamu tidak mau berkenalan dengan penduduk yang lain? Aku tidak keberatan menjadi temanmu, tapi berteman hanya dengan satu orang tidak akan berdampak baik untuk dirimu sendiri." Pita terus bicara sambil membereskan pakaian-pakaianku yang berserakan dimana-mana. "Paling tidak, lakukan sesuatu yang berguna."

"Hari masih gelap, tidak bisakah kamu menunggu hingga terang, sebelum memulai ocehanmu?" Aku mengucek mata sambil duduk. Percuma menutup telinga, suara Pita tetap terdengar nyaring. Membuat rasa kantukku menguap begitu saja.

"Ini hari yang istimewa. Aku yakin, kamu tidak akan mau melewatkannya."

"Apa yang istimewa dengan hari ini?" Tanyaku, tidak terlalu ingin tau.

Pita berhenti sejenak dari kesibukannya. "Hari ini adalah hari menanam bunga. Kita akan bersenang-senang."

"Bunga?" Aku menghembuskan napas panjang. Di dimensi ini, sepertinya selalu ada hal baru untuk dipelajari.

"Iya, bunga. Seru, bukan?" Pita salah memahami reaksiku. "Lebih baik kamu bersiap-siap. Karena kita harus pergi ke suatu tempat."

Aku sedang tidak ingin membantahnya. Jadi, tanpa diperintah dua kali, aku langsung merapikan diri secepat yang kubisa. Sementara Pita terus membereskan kamarku. Aku jadi merasa tidak enak.

Matahari telah mengintip saat kami memulai perjalanan itu. Aku mengikuti Pita tanpa bertanya lebih banyak tentang tujuan kami atau apa yang akan kami lakukan. Hingga akhirnya kami tiba di atas bukit, tempat aku dan Pita bertemu untuk pertama kalinya.

"Bukankah ayahmu melarangmu masuk ke dalam hutan?" Ucapku, tidak memahami tingkahnya yang selalu saja melawan perintah kepala suku.

"Tidak masalah, selama dia tidak tau." Ucap Pita tersenyum jahil.

Lihat selengkapnya