Wajah Bumi

SavieL
Chapter #12

.: Sahabat :.

Aku suka mempelajari hal-hal baru—apalagi tentang Bumi. Dan keberadaan Raka, telah mengubah pandanganku tentang arti persahabatan.

Sejak percakapan yang terjadi di antara kami sore itu—di sudut perkampungan, kami menjadi lebih akrab dari biasanya. Bahkan sesekali terdengar beberapa orang berkata bahwa, tidak ada yang pernah berteman sedekat itu dengan Raka, selain diriku.

Ada banyak hal yang telah Raka ajarkan, meski aku tau itu tidak mudah baginya. Aku mungkin telah membaca banyak buku tentang Bumi, tapi tetap saja tidak ada satupun dari pekerjaan itu yang kupahami. Aku tidak tau apa itu memancing, atau apa itu berburu. Meski menyadari keanehan itu, Raka tetap sabar dan tidak banyak bertanya. Raka menerimaku apa adanya, sama seperti Pita.

Sekarang—berkat Raka, aku jadi tau apa yang dimaksud dengan berburu dan memancing, termasuk bagaimana cara membuat senjata tradisional. Raka juga mengajariku teknik dasar dalam sebuah pertarungan. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa persahabatan yang terjalin di antara kami bisa tumbuh dengan kokoh, seperti pohon besar yang berakar kuat.

"Mengapa kampung seindah dan sedamai Mamuhare masih membutuhkan para petarung?" Tanyaku, kesekian kali—meski sedikit banyak, aku sudah mengetahui jawabannya.

"Seperti yang kamu katakan, Mamuhare adalah kampung yang indah dan damai. Karena itulah banyak yang ingin merebutnya, banyak yang ingin memilikinya. Bertahun-tahun yang lalu, perang sering terjadi di wilayah ini. Para pemimpin dari kampung-kampung yang jauh lebih besar bersaing untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka, termasuk ke wilayah Mamuhare. Usaha itu selalu bisa digagalkan, karena Mamuhare memiliki petarung-petarung yang tangguh—siapapun tau itu. Selama bertahun-tahun kepala suku berhasil menjaga Mamuhare dan menjadikannya satu dari sedikit kampung merdeka yang tersisa. Sejak kecil, aku sudah bertekad untuk menjadi petarung yang hebat. Aku ingin melindungi Mamuhare, aku ingin menjadi sehebat kepala suku. Asal kau tau, ayah Pita itu sesungguhnya adalah petarung terhebat yang pernah hidup di Bumi. Di wilayah lain, perang sesekali masih terjadi bahkan sampai saat ini, tapi tidak di Mamuhare. Selama kepala suku masih berdiri tegap, aku yakin tidak akan ada yang berani mendekati Mamuhare."

Aku takjub mendengar cerita Raka. Aku tau, Raja Agung Ganesha bukanlah jenis pria yang ramah. Tubuhnya yang tinggi besar, suaranya yang berat dan dalam, ditambah pula dengan ucapan-ucapannya yang mematikan—dia tidak bisa dipandang sebagai pria yang ramah, tentu saja. Namun, mendengar kenyataan bahwa ia adalah petarung terhebat, rasanya sulit dipercaya. Bagaimana mungkin seorang petarung hebat, justru tunduk dengan mudah pada dua wanita—Tyasari dan Pita—yang tidak memiliki kekuatan sama sekali? Siapa yang bisa percaya itu?

"Dan jangan sampai kau lupakan ini, Mamuhare adalah satu-satunya wilayah yang berada di tengah hutan rimba." Raka melanjutkan, memutus lamunanku. "Ada banyak hewan buas yang kelaparan di luar sana. Sedikit kelalaian, sudah cukup bagi para predator itu untuk menjadikan penduduk dan ternak sebagai makan malam mereka."

Aku mengangguk setuju, meski Raka tidak bisa melihatku. Saat ini kami sedang berada di atas sebuah perahu nelayan, duduk saling membelakangi. Matahari bersinar cerah hari ini, menemani kami dan beberapa pria lain yang sedang memancing.

Seperti yang sudah-sudah, Raka selalu menjawab apapun yang aku tanyakan dengan sabar. Seperti Pita, Raka telah menerima keberadaan dan ketidak-tahuanku yang tidak wajar itu. Menurut Raka, terlepas dari sikapku yang aneh ia lebih menyukai kepribadianku. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Memangnya apa yang istimewa dari kepribadianku?

"Tidak ada yang menyukai peperangan, tidak ada yang menginginkannya. Yang dilakukan oleh para petarung selama ini, hanyalah melindungi Mamuhare. Memastikannya tetap indah dan damai." Tambah Raka.

Raka benar, karena tidak ada hal baik yang lahir dari perang. "Raka,,, pernahkah terpikir olehmu, suatu masa dimana perang adalah satu-satunya hal yang tersisa di Bumi. Perang yang maha dahsyat. Bukan untuk memperebutkan wilayah kekuasaan, atau karena ingin melindungi sesuatu yang sangat berharga bagi kita, melainkan suatu perang antara pria dan wanita. Perang yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu saling memusnahkan. Pernahkah kamu membayangkan Bumi yang seperti itu?" Aku tau, tidak seharusnya aku menanyakan hal semacam itu padanya. Bagaimana pun juga, sudah menjadi tugasku untuk menyimpan hal itu seorang diri. Karena apa yang terjadi di hari esok, adalah rahasia untuk hari ini.

Saat mendengar pertanyaanku, Raka berbalik dan menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu memiliki pemikiran yang sangat mengerikan, teman. Tentu saja hal itu tidak mungkin, dan tidak akan pernah terjadi."

Aku mengangkat bahu, acuh. "Tidak ada yang tau rahasia apa yang disembunyikan oleh masa depan. Semua kemungkinan bisa saja terjadi, bukan?"

Raka menepuk pundakku. "Entah apa yang sedang merasuki pikiranmu. Tapi rasanya, perang seperti itu, tidak mungkin terjadi. Terkadang wanita memang sangat menyebalkan, dan pria bisa jadi sangat keras kepala. Namun tanpa wanita, pria tidak berarti apa-apa. Begitu pula sebaliknya. Karena pria dan wanita adalah bentuk sejati dari sebuah keseimbangan. Bila salah satu diantaranya hilang, maka akan terjadi ketimpangan. Akan sangat mengerikan kalau sampai hal seperti itu benar-benar terjadi."

Aku tersenyum, mencoba meredakan gejolak dalam dadaku. Itulah yang selama ini ayah, aku, dan ilmuwan lain takutkan. Akhir dari peradaban manusia. Seandainya Raka bisa hidup selama itu untuk melihat apa yang terjadi pada Bumi di masa depan. Seandainya Raka bisa menyaksikan sendiri, apa yang aku saksikan selama 22 tahun. Bisakah ia mengatakan hal yang sama? Bisakah ia tetap percaya bahwa pria dan wanita adalah bentuk sejati dari sebuah keseimbangan, bukan mesin penghancur yang digerakkan oleh kebencian?

"Sudahlah. Buang jauh-jauh pikiran mengerikan itu, lalu cobalah untuk berpikir layaknya manusia normal." Ucap Raka.

"Bagaimana bisa kamu menyebutku tidak normal, disaat pria sekuat kepala suku—yang malah tunduk dihadapan istri dan anaknya, kau sebut normal? Tidakkah itu pun terasa aneh bagimu?" Tuntutku.

"Kamu tidak benar-benar memahami apa yang kukatakan, Gab. Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa tanpa wanita, pria tidak berarti apa-apa. Bagi kepala suku, ibu Tyasari dan Pita, adalah alasan kebahagiaannya. Dia mampu bertahan hingga hari ini, karena mereka. Demi mereka."

Ucapan Raka, membuatku teringat pada tawa mereka waktu itu—yang tidak sengaja kudengar saat sedang bersembunyi di belakang rumah kepala suku. Tawa mereka membawa perasaan yang berbeda, perasaan yang indah dan menyenangkan.

"Aneh." Renungku.

Sekali lagi Raka menatapku. "Aku mengerti. Sekarang kau mungkin belum memahami apa yang aku ucapkan. Semua hanyalah omong kosong bagimu. Kau harus jatuh cinta, Gabriel. Dengan begitu, kau akan mengerti mengapa pria terhebat sekalipun bersedia menundukkan kepalanya, dihadapan seorang wanita."

Lihat selengkapnya