Hujan...
Aku tidak pernah peduli pada hujan. Aku tidak punya alasan menyukai pun membencinya. Bagiku itu hanya fenomena alam biasa yang tidak meninggalkan kesan apa-apa.
Untuk tahun 2345, hujan adalah penanda bahwa perang sedang berhenti. Hujan adalah alasan bagi penduduk Bumi beristirahat sejenak dari keinginannya untuk saling menghancurkan. Hanya pada saat hujan sajalah, kami bisa keluar dari persembunyian, dan melihat sejauh apa kehancuran yang terjadi akibat perang.
Namun bagi tahun 2012, hujan adalah berkah. Bentuk kasih sayang dari alam semesta. Sumber kehidupan bagi Bumi dan semua makhluk yang hidup di dalamnya. Tanpa hujan, Kehidupan terasa jauh lebih sulit dari yang seharusnya.
Tidak pernah terpikir olehku bahwa hujan adalah segalanya. Untuk hari ini, dan juga esok. Sekali lagi, aku diajarkan tentang arti sebuah kehidupan, dengan cara yang sulit.
Pagi ini, aku terbangun dengan semangat baru yang semakin berkobar dari hari ke hari. Namun, Mamuhare justru menunjukkan wajah yang berbeda. Aku keluar dari tempat tinggalku, mendapati wajah-wajah lesu. Tidak ada keceriaan, tidak ada tawa, tidak ada semangat, bahkan tidak terdengar kicauan burung seperti yang selama ini kudengar. Dan senyum di wajah Pita ikut menghilang.
Perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Sudah satu minggu terakhir, perlahan tapi pasti, penduduk kampung mulai berubah sikapnya. Perubahan itu semakin parah dari hari ke hari, hingga akhirnya tidak ada lagi kebahagiaan yang tersisa. Aku tidak menyukai perubahan itu. Rasanya sangat menyesakkan dada.
"Pita, sebenarnya apa yang sedang terjadi?" Aku memutuskan untuk bertanya.
Pita menatapku, tidak mengerti.
"Maksudku, kenapa akhir-akhir ini penduduk Mamuhare terlihat seperti kehilangan semangatnya? Apa yang terjadi?"
Mata Pita melebar, menatapku keheranan. "Kamu sungguh tidak tau apa yang sedang menimpa kita saat ini?" Tanyanya.
Aku menggeleng. Haruskah aku mengetahuinya?
"Kita sedang menghadapi kemarau panjang, Gabriel. Sudah beberapa minggu terakhir ini suhu Bumi naik lebih tinggi, dan diperburuk dengan hujan yang tak kunjung turun. Ini kemarau terpanjang yang pernah dialami Mamuhare. Jika hal ini terus berlanjut, ladang-ladang akan kering. Pasokan air akan habis. Kita terancam gagal panen. Tidak ada yang bisa dimakan, tidak ada pula yang bisa diminum." Pita terlihat sedih saat mengatakannya. "Dan bibit-bibit bunga yang kita tanam di bukit waktu itu,,, mungkin tidak akan tumbuh. Tidak akan ada keajaiban ataupun harapan yang tersisa."
Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak tau harus berkata apa. Aku ingin sekali menghiburnya, tapi aku sendiri tidak benar-benar memahami seberapa sulit kondisi yang sedang kami hadapi saat itu. Memangnya kenapa bila tidak ada hujan?
"Akan ada banyak orang yang kelaparan, kehausan, belum lagi penyakit yang ditimbulkan akibat kemarau ini." Ia menambahkan dengan kesedihan yang teramat dalam—seakan bisa membaca pikiranku.
"Tidak bisakah kita mencari mata air lain?" Tanyaku.
"Raka dan beberapa pria telah mencobanya, tapi tidak membuahkan hasil apapun. Masih ada beberapa mata air yang mengalir, tapi aliran yang dihasilkan tidak cukup besar. Tidak lama lagi, aliran itu akan berhenti—mengering. Aku mendengar mereka membicarakan masalah itu dengan ayah. Hanya hujan yang bisa menyelamatkan kita."
"Kenapa tidak membuat hujan? Kita bisa mencobanya, bukan?"
"Bagaimana caranya?" Pita menatapku, keheranan.
"Membuat langit menurunkan hujan. Memodifikasi awan, menuruti keinginan kita. Menciptakan musim, seperti yang kita butuhkan." Ucapku, mulai ragu.