Hujan, mengembalikan tawa penduduk Mamuhare. Mata air mulai mengalir perlahan, ladang-ladang menemukan kembali harapannya. Hujan memberi berkah bagi setiap kehidupan. Aku percaya itu.
Kebahagiaan tidak hanya terlihat di wajah para penduduk, tetapi juga di wajah Bumi. Bumi seolah ikut merayakan kembalinya hujan. Tanaman yang kemarin layu kembali segar—bermekaran. Kicauan burung terdengar bersahutan menyenandungkan nada syahdu. Dan sudah dapat dipastikan bahwa penduduk tidak akan kekurangan bahan makanan lagi. Penduduk tidak perlu menghemat persediaan air. Dan penyakit akibat musim kemarau, perlahan mulai hilang.
Satu minggu setelah hujan turun, penduduk kembali berkumpul mengelilingi api unggun. Merayakan akhir dari kemarau panjang. Pesta, tarian, nyanyian, musik, terdengar diseluruh penjuru kampung.
Sepanjang hari itu aku pergi berburu bersama Raka dan kelompok pemburu lainnya. Kami membawa pulang banyak buruan. Rasanya sangat melegakan, melihat Bumi telah kembali menjadi tempat yang menyenangkan. Di malam perayaan, semua orang menyantap hasil buruan dengan penuh kebahagiaan disertai ucapan syukur.
Aku menatap setiap wajah yang ada disana. Wajah yang sudah kukenal, maupun yang tidak begitu familiar. Tidak ada lagi kesedihan yang tersisa, tidak ada lagi wajah murung. Rasanya sangatlah benar, kehidupan yang seperti ini.
Tidak jauh dari tempatku duduk, Pita menari bersama beberapa wanita lainnya. Hanya ada tawa disana, hilang sudah wajah-wajah putus asa yang menghias Mamuhare beberapa waktu lalu.
"Raka."
Raka menoleh menatapku.
"Belakangan ini, ada hal yang tidak kumengerti." Ucapku.
"Katakan. Mungkin aku bisa membantumu." Sahutnya.
"Akhir-akhir ini, sebuah perasaan aneh selalu muncul dalam hatiku. Perasaan bahagia yang tidak bisa aku jelaskan. Dan debaran jantung yang tidak menentu, selalu saja menghampiriku tanpa alasan yang jelas." Aku meneguk minuman ditanganku.
"Karena seseorang?" Tanyanya.
"Ya."
"Mungkin, kamu sedang jatuh cinta." Ucap Raka.
"Jatuh cinta? Apa itu?" Tanyaku, tidak mengerti.
"Sebuah rasa suka, yang melahirkan perasaan bahagia karena orang tertentu. Seolah dengan melihatnya bahagia, kamu pun akan merasa bahagia. Seolah dapat terus berada disisinya, adalah hal yang sangat kamu harapkan. Seolah tidak ada yang kamu inginkan di dunia ini, selain menjadikan dia milikmu. Dan saat melihat ia tersenyum, kau tau bahwa semua akan baik-baik saja, bahkan di hari terburuk sekalipun."
Aku memikirkan ucapan Raka—sesaat, lalu mengangguk. "Ya, sepertinya itulah yang aku rasakan."
Raka tersenyum lebar. "Jadi, siapa yang telah membuatmu seperti itu?" Tanyanya dengan nada menggoda.
"Pita."
Seketika keheningan terjadi. Bahkan senyum di wajah Raka pun menghilang.
Aku berpaling menatapnya. "Bolehkah aku jatuh cinta pada Pita?" Tanyaku, tidak memahami apakah perasaan itu tepat atau tidak untuk kurasakan.
Raka tersenyum, meski ada yang berbeda pada raut wajahnya. "Apa kau tau? Jatuh cinta adalah hak setiap orang. Kau tidak bisa memilih pada siapa kau jatuh cinta. Kau hanya bisa mencoba melakukan yang terbaik, demi membuat orang yang kau cintai bahagia. Aku rasa, seperti itulah cinta."
Aku dan Raka berpaling menatap Pita yang terus menari mengikuti tarian orang-orang disekelilingnya. Meski ia terlihat kesulitan mengimbangi gerakan mereka, ia tetap bersemangat. Dia tertawa sepanjang malam itu.
"Jika aku jatuh cinta pada Pita, apa itu artinya Pita pun jatuh cinta padaku? Apakah ia merasakan hal yang sama?" Aku kembali bertanya.
Raka menggeleng. "Entahlah. Bisa jadi dia sedang mencintai orang lain atau dia hanya sekedar tidak menyukaimu. Bila dia tidak menyukaimu, dia mungkin akan membencimu saat dia tau bahwa kau mencintainya. Mungkin, setelah tau kau menyukainya, dia akan berusaha menjauhimu." Raka menghembuskan napas dalam. "Wanita adalah makhluk yang sangat rumit, Gabriel. Sulit untuk memahami seperti apa isi hatinya yang terdalam."