Aku merasa bersalah, karena tidak ikut memancing bersama Raka, padahal akulah yang mati-matian mengajaknya pergi saat itu. Sore itu, kuputuskan untuk menemui Raka dan meminta maaf. Aku menuju ke rumahnya, hendak mencari tau apakah ia telah kembali dari kegiatan memancing. Namun, semesta berkehendak lain. Sebuah rahasia terungkap, di saat aku mulai berpikir bahwa kehidupan yang kujalani di Mamuhare sangatlah sempurna.
Aku tiba di depan rumah Raka. Saat hendak mengetuk pintu rumahnya, terdengar suara teriakan penuh kemarahan dari dalam. Pintu rumah Raka sedikit terbuka. Kuputuskan untuk mengintip, mencari tau apa yang sedang terjadi. Seharusnya, aku tidak pernah melakukan hal semacam itu...
"Apa? Kamu akan menolak pertunangan itu? Apa kamu sudah kehilangan akal sehat, Raka?" Suara Rama Mehra, ayah Raka, menggelegar menggetarkan. Wajahnya merah padam.
"Iya, Ayah. Aku minta maaf. Aku tidak bisa menuruti permintaan Ayah kali ini." Raka mengucapkan setiap kata dengan penuh penekanan. Tidak ada rasa takut sedikitpun. Keputusannya sudah bulat.
"Untuk alasan apa? Bagaimana bisa kamu menolaknya?" Selidik Rama.
"Aku tidak mencintai dia, Ayah." Ucap Raka, meski perkataan itu terdengar tidak meyakinkan.
"Omong kosong! Seluruh penduduk kampung ini pun tau, kalau kau sudah mencintai dia bahkan sejak kalian masih kanak-kanak. Kau sangat mencintainya. Ayah bisa melihat hal itu dengan sangat jelas."
"Perasaan Raka sudah berubah, ayah." Sekali lagi, ucapan itu terdengar tidak meyakinkan.
"Kepala suku dan Ayah, sudah lama menjodohkanmu dengan Pita. Bagaimana bisa kau menolak rencana pertunangan itu? Apa kau sudah tidak waras?" Tuntut Rama.
"Ijinkan aku bicara dengan kepala suku. Aku akan menjelaskan semuanya."
"Tidak bisa! Ayah tidak bisa menerima keputusan bodoh semacam itu. Apapun yang terjadi, kamu harus menikah dengan Pita!"
"Ayah tidak bisa memaksaku."
"Ayah bisa memaksamu! Ayah akan bicara dengan kepala suku, supaya acara pertunangan kalian dapat segera dilaksanakan. Keputusan Ayah sudah bulat! Dan kamu, kamu tidak punya hak untuk menentangnya!"
"Ini hidup Raka. Biarkan Raka membuat pilihan Raka sendiri." Raka tetap bersikeras.
"Berani kamu membantah ayah? Selama ayah masih hidup, ayah tidak akan membiarkanmu mengacaukan perjodohan itu!" Tegas Rama. "Kau dengar itu?"
Raka hendak membantah, namun ayahnya tidak memberi kesempatan sama sekali.
"Akhir-akhir ini, Pita dan pria asing itu..."
"Namanya Gabriel, Ayah." Potong Raka.
Rama mengabaikan ucapan putranya. "Mereka terlihat sangat dekat. Mereka terlalu sering bersama. Ayah tidak suka melihatnya."