Sejak pertengkaran itu, ada banyak hal yang berubah dalam hidupku. Tentu saja. Raka adalah orang yang sangat dekat denganku—selain Pita. Pertengkaran kami hari itu, telah mengubah segalanya.
Sudah berhari-hari aku tidak ikut berburu ataupun memancing. Aku tidak bicara dan berbaur dengan penduduk kampung. Aku juga sudah tidak pernah hadir saat acara api unggun. Aku tidak lagi menjadi sosok Gabriel yang memiliki banyak teman dengan setumpuk kesibukan.
Aku kembali ke sudut favoritku di ujung perkampungan. Namun tidak seperti dulu, tidak ada lagi pertanyaan atau pengandaian dalam kepalaku. Hanya perasaan murung, layaknya mentari yang tertutup awan gelap. Tidak kusangka, kehilangan seseorang yang sedekat itu dengan kita, sangatlah berat rasanya. Anehnya, meski telah berhari-hari merasakan kekosongan dalam hatiku, amarah terhadap Raka tidak juga reda.
Ayah, ternyata manusia hanyalah makhluk yang lemah. Manusia selalu saja dikuasai oleh berbagai perasaan yang tidak mampu ia kendalikan. Aku sadar, ada banyak hal baik yang telah Raka beri untukku. Namun entah mengapa, satu kebohongan saja telah cukup untuk menghapus semua kebaikan itu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Rasanya, sudah lama sekali saya tidak melihat kamu menyendiri seperti ini." Ucap Baba Troes menghampiriku.
Aku tidak menyadari kedatangannya. Seperti dulu, kali ini pun dia datang di saat yang tepat. Seakan tau bahwa aku sedang membutuhkan seseorang untuk mendengar kisahku. Seseorang yang bijaksana, dan mampu memberiku nasehat yang baik.
"Dulu, saat pertama kali saya melihatmu disini, kamu pun menyendiri seperti ini. Tapi di matamu ada semangat yang membara, rasa ingin tahu yang besar, meski semua itu dibungkus oleh rasa takut yang dalam." Pria itu menatapku. "Tatapanmu saat ini, sangatlah berbeda. Yang ada hanyalah kesedihan dan perasaan kecewa yang teramat sangat."
Aku berpaling, menatap takjub tetua kampung itu. Baba Troes benar, itulah yang saat ini kurasakan. Aku merasa kecewa pada Raka, orang yang sangat dekat denganku. Orang yang sudah kuanggap layaknya saudara. Namun, bila aku menceritakan masalahku pada Baba Troes, akankah ia mengerti apa yang aku rasakan? Ataukah ia justru akan membela Raka? Bagaimana pun juga, aku hanya orang asing di kampung ini. Sedangkan Raka adalah pelindungnya.
"Kau harus memahami ini, anak muda. Hidup memang tidaklah mudah untuk dijalani, tapi selama kau mau menerima dan bersyukur atas kehidupan itu, maka tidak ada masalah yang terlalu sulit untuk dilewati." Tambahnya sambil tersenyum. "Manusia, memiliki kelemahan besar dalam hidupnya. Saat tertimpa masalah, mereka lebih suka mengeluh daripada bersyukur. Padahal melalui sebuah penerimaan, kelak mereka akan melihat bahwa apa yang terjadi, sesungguhnya adalah yang terbaik untuk dirinya. Karena semesta tidak pernah merancangkan hal buruk terhadap manusia."
Aku tau, tidak baik bagi siapapun untuk menyimpan masalahnya seorang diri. Aku perlu menceritakannya pada orang lain, untuk meringankan beban di hatiku. Aku harus membaginya dengan pria paruh baya di sampingku ini, berharap ia dapat membantuku melihat masalah yang sedang kuhadapi dengan sudut pandang yang lebih baik.
"Baba, bolehkah aku bertanya?"
"Apa yang ingin kau ketahui, anak muda?"
Aku menarik napas dalam-dalam. "Baba, apa yang akan Baba lakukan bila seseorang berbohong pada Baba? Seseorang yang telah Baba anggap lebih dari saudara. Seseorang yang mengetahui isi hati Baba, tapi tetap berbohong dan menutupi segalanya."
Baba Troes terdiam. Lalu, "saya akan mencari tau terlebih dahulu, mengapa dia berbohong. Boleh jadi dia punya alasan untuk itu? Dan bila alasan itu bisa diterima, saya akan mengerti dan memaafkannya."
"Tapi, bukankah itu tidak adil? Aku sangat mempercayai dia. Aku menceritakan semua isi hatiku padanya. Namun, dia mengkhianatiku dengan kebohongan." Aku tidak sadar telah meluapkan semua kegelisahanku. Rasanya seperti ada api yang tiba-tiba menyala dalam hatiku, membakar habis kedamaiannya.
Baba Troes tertawa pelan. "Kamu membuat rumit masalahmu sendiri. Bukankah, manusia memang seperti itu? Selalu menyimpan paling tidak satu rahasia. Boleh jadi, manusia pada dasarnya memang senang berbohong. Atau,,, mungkin ada alasan tertentu yang membuat mereka harus berbohong. Saya yakin, bahkan kamu pun memiliki rahasia yang tidak kami ketahui. Dan kamu, tentu punya alasanmu sendiri untuk tidak mengungkapnya. Itu hakmu. Pilihanmu. Pertimbanganmu."
Ucapan Baba Troes menghantamku dengan keras.
"Menyimpan rahasia itu seorang diri, mau tidak mau membuatmu harus berbohong pada orang lain—termasuk pada orang yang sangat dekat denganmu. Namun, kebohongan itu tidak lantas mengubahmu menjadi orang yang jahat, bukan?" Pria itu menatapku, tersenyum. "Seperti yang saya katakan, semua kembali pada alasan mengapa kamu harus berbohong."