Sejak Pita mengetahui rahasiaku, aku jadi sadar bahwa semakin lama aku menunda kepulanganku, maka akan semakin terikat diriku dengan dimensi ini. Semua yang kubutuhkan sudah kudapatkan. Aku pun sudah mempelajari banyak hal di sini. Seharusnya semua itu sudah cukup sebagai bukti. Aku tidak berharap banyak. Aku hanya ingin Bumi kembali seperti dulu. Perang berakhir, dan manusia menemukan kembali kedamaiannya.
Satu hari sebelum kepulanganku, kuputuskan untuk menemui Raka. Aku mungkin tidak bisa menjelaskan segalanya pada pria itu, tapi rasanya tidak adil bila aku pergi begitu saja.
Kondisi Raka sudah jauh lebih baik. Hanya butuh satu atau dua hari istirahat lagi, maka ia dapat kembali beraktivitas seperti sedia kala.
"Mau sampai kapan kamu terbaring seperti itu?" Aku berjalan masuk, lalu duduk di samping tempat tidurnya. "Selagi kamu bermalas-malasan di sini, bisa jadi pria lain di luar sana sedang berusaha mendapatkan hati Pita. Semangatlah!"
"Diamlah. Kamu lebih cerewet dari ayahku." Keluhnya.
Aku tertawa.
"Aku tidak mau dikasihani olehmu. Jadi gunakan waktu yang kamu miliki saat ini dengan baik. Karena setelah aku sembuh nanti kamu tidak akan punya kesempatan lagi. Aku akan membuat Pita jatuh hati kepadaku."
"Apa kamu terlalu bodoh untuk memahami ucapanku waktu itu? Aku sudah tidak menyukai Pita." Sekali lagi penyangkalan itu melukai hatiku.
"Justru aku akan jadi orang terbodoh di dunia, bila percaya begitu saja. Tidak perlu berbohong. Matamu mengatakan hal yang berbeda. Kamu mencintai dia. Sangat mencintai dia." Tuntut Raka.
Aku menatap Raka sesaat, lalu tersenyum. "Aku harus pergi."
Raka terdiam, mencoba memahami ucapanku. "Kemana? Tunggulah sampai aku benar-benar pulih. Aku akan menemanimu kemana pun—terserah padamu. Anggap saja sebagai balasan karena kamu telah menolongku waktu itu."
Sekali lagi ada beban berat menggantung dalam hatiku. Perpisahan ini sangatlah sulit. "Kali ini aku tidak bisa mengajakmu."
"Kenapa?"
"Sudah saatnya bagiku untuk pulang. Aku harus kembali ke tempat asalku. Di sini bukan duniaku. Kita semua tau itu." Aku berusaha meredam rasa sakit yang menikam hatiku. "Jadi, terima kasih untuk persahabatan yang telah kamu ajarkan padaku selama ini. Aku akan selalu mengingatnya."
"Tapi kenapa? Tidak bisakah kamu menjadikan Mamuhare sebagai rumahmu? Kamu bisa tinggal di sini bersama kami selama yang kamu inginkan." Ucapnya. "Apakah ada yang mengganggumu? Membuatmu merasa tidak nyaman? Katakan padaku."
"Seandainya aku memiliki pilihan lain..." Gumamku, pilu. "Sayangnya, tempat asalku membutuhkanku. Aku harus kembali dan menjadi pahlawan bagi mereka." Aku berusaha mengucapkan kalimat itu dengan nada riang. "Kau tau sendiri, bukan? Betapa terobsesinya diriku untuk menjadi seorang pahlawan."
Raka mengabaikan gurauanku. "Jika aku menangis dan memohon agar kau tetap tinggal, maukah kau melakukannya?"
Aku tertawa. "Kamu itu seorang pria. Kalau kamu lemah, bagaimana bisa kamu menjaga wanita yang kamu cintai kelak?"