Aku masuk ke dalam kapsul waktu, keesokan paginya. Setelah menyaksikan matahari terbit di Mamuhare untuk terakhir kali—bersama Pita.
"Terima kasih karena telah hadir dan mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan. Semoga, kamu bisa membawa harapan baru pada Bumi di dimensimu." Ucap Pita, meletakkan kedua tangannya di pipiku.
Aku tersenyum, lalu meraih tangan Pita dan menciumnya. "Aku mencintaimu." Kuletakkan tangan Pita di dadaku. Membiarkan ia merasakan detak yang ada di sana. "Dapatkah kamu merasakannya? Detak ini akan selalu memanggil namamu. Tidak peduli seberapa besar jarak dan waktu yang memisahkan kita."
Airmata mengintip di sudut mata Pita saat aku mengatakan hal itu.
"Tidak, tidak. Jangan menangis. Tersenyumlah. Aku ingin mengingat perpisahan ini sebagai sesuatu yang indah. Dan keindahan itu hanya tercipta oleh senyummu." Ucapku, berusaha menampilkan senyum terbaikku.
"Kamu terus saja merayu." Ucap Pita mengusap airmatanya. "Kamu benar, aku tidak boleh menangis. Perpisahan ini memang sangat menyakitkan. Tapi aku memiliki ratusan kenangan tentangmu. Dan setiap kenangan itu sangatlah menyenangkan. Aku rasa kenangan-kenangan itu mampu menghiburku hingga beberapa tahun ke depan."
Kami tertawa. Tawa yang berbalut kesedihan.
"Aku harus pergi."
Pita mengangguk.
Aku berbaring dalam kapsul waktu. Kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih sulit bila dibandingkan saat aku hendak memulai perjalanan ini. Namun, aku tau ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Saat aku hendak menutup pintu kapsul, Pita mendekat dan menciumku.
Waktu terasa berhenti berputar bersama ciuman itu. Rasanya sangat menyenangkan, dan terlalu indah untuk dilukiskan.
Pita memelukku untuk terakhir kalinya. "Aku benar-benar mulai merindukanmu."
Aku tersenyum, lalu menarik tutup kapsul. Wajah Pita menghilang dalam hitungan detik. Aku menekan tombol berbentuk rumah, seketika terdengar deru mesin. Deru yang sudah sempat aku lupakan. Bersamaan dengan itu airmata yang kusimpan selama beberapa hari terakhir, mulai mengalir dengan deras. Seolah tembok yang selama ini membendungnya telah hancur berkeping-keping. Aku tidak pernah merasakan sakit yang seperti itu. Tidak ketika melihat Bumi yang hampir musnah, tidak pula ketika ayahku meninggal. Sakit yang aku rasakan kini, terasa sangat menyesakkan. Seolah jiwaku telah direnggut dari ragaku. Bagaimana aku melewati hari-hariku kelak? Bisakah aku tetap hidup meski ragaku telah kosong?
Baba Troes pernah mengatakan, waktu mampu menyembuhkan banyak hal. Luka di tubuh, rasa lelah, rasa sakit, hingga hati yang terluka karena kehilangan. Benarkah itu? Waktu mungkin bisa menyembuhkan luka di hatiku. Tapi kenangan tentang wanita yang telah mencuri hatiku, bisakah waktu merenggutnya?
Mesin kapsul waktu terus menderu. Aku pulang membawa bukti digital tentang peradaban manusia yang telah aku kumpulkan selama 10 bulan, bibit-bibit bunga, beberapa buku tentang pengolahan lahan dan resep makanan, serta cinta dari putri kepala suku Mamuhare dalam hatiku.
Dalam kapsul waktu, aku memiliki banyak waktu untuk mengingat kembali semuanya. Awal pertemuanku dengan Pita, kunjungan pertamaku ke Mamuhare, persahabatan yang terjalin dengan Raka, dan segudang hal baru yang aku pelajari di tahun 2012. Ternyata Bumi memiliki banyak sekali keindahan dan ada banyak perasaan yang menghiasi atmosfernya. Bagaimana bisa kebencian itu datang dan menghitamkan segalanya? Lalu apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan kedamaian itu?
Aku masih tenggelam dalam lamunan, saat deru mesin tiba-tiba berhenti. Apa yang terjadi? Apakah ada bagian mesin yang rusak? Apakah aku gagal kembali ke dimensiku?
Belum sempat aku menemukan jawaban atas pertanyaan itu, gelang di tanganku langsung bergetar. Koneksi tersambung. Ada banyak pesan yang masuk, ada ratusan notifikasi yang muncul. Apakah aku telah kembali? Entahlah. Perjalanan pulang yang kutempuh terlalu singkat—kurang dari 7 jam, sangat berbeda dengan saat aku berangkat dulu. Tanpa keraguan, aku membuka penutup kapsul. Apapun yang terjadi, aku akan menghadapinya.