Wajah Lain di Lukisan Rumah Majikanku

Bella Paring Gusti
Chapter #1

Bab 1

“Yakin tetep berangkat, Nduk?”


Aku tersentak dari tidur, terbayang-bayang suara Ibuk yang baru beberapa jam lalu terucap dari bibir beliau. Mataku mengerjap cepat menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk secara spontan. Kemudian kusisir jalan dari balik kaca jendela demi mendapat petunjuk sampai di mana angkot yang kunaiki ini berada.


Setengahnya kepalaku pusing, perutku terasa diaduk-aduk. Mungkin karena jalanan berbatu yang beberapa kali sempat kami lewati. Sejauh mata memandang langit mulai kelabu, semakin gelap menyerupai kala magrib. Namun masih menunjukkan pukul empat sore sewaktu kulihat jam yang tertera di layar ponsel. Aku tiba-tiba mengkhawatirkan hujan lebat yang mungkin saja mendera setelah ini.


Beruntung, angkot yang tengah kutumpangi berhenti. Si supir lekas menoleh ke belakang memindai satu per satu penumpang, kecuali diriku yang tertutupi oleh badan besar yang ada di depanku.


“Wonosari! Wonosari! Yo turun-turun!” pekiknya lantang mengingatkan penumpangnya sendiri. Terlebih untuk orang-orang yang terlelap sepertiku tadi.


“Pak, kulo!” Aku menyahutnya sembari beranjak bangkit. Setengah menginstruksikan penumpang depan agar segera memberiku jalan. Aku tergopoh-gopoh melewati banyak kaki sembari menenteng dua tas besar.


Ngapunten, permisi nggih ….”


(Maaf, permisi, ya ….)


Namun, sejurus itu seorang pria pemilik jambang di sekitar rahang tiba-tiba menghadang jalanku. Aku tersentak, sepertinya ia hendak masuk. Mataku terpacak padanya, begitu juga netra orang dewasa itu. Tak sengaja kulihat bibirnya komat-kamit berbisik seperti membacakan mantra berbahasa Arab. Tatapannya tajam masih lurus tertuju padaku.


Seketika aku mundur selangkah, sengaja memberinya ruang secara waspada. Sayang sekali aku tak bisa mendengar begitu jelas apa yang orang itu ucapkan. Pria tadi kemudian segera masuk dan melewatiku begitu saja.


Aku bergidik ngeri dan cepat-cepat melangkah turun. Kemudian aku mengamati sebuah rumah bercat putih gading menjulang tinggi dengan tiga lantai di depanku. Lantas tak lupa juga kuedarkan netra ini menjelajahi barisan rumah lain di sekitarnya. Aneh, benarkah ini rumah Pak Rafli?


Kok bukan seperti rumah orang kaya pada umumnya, ya?


Biasanya rumah orang kaya yang kulihat seperti di TV itu ada halaman luas, punya banyak mobil, gerbang tinggi, bahkan terdapat taman. Rumah di depanku sekarang justru lebih mirip seperti bangunan gereja tua yang tak terpakai di tengah-tengah kota. Menurutku justru terkesan gelap dan tertutup.


Tapi … entah kenapa kota ini memang terlihat seperti kota mati. Masih jam segini, namun tak ada aktivitas layaknya pusat kota. Satu-satunya yang terlihat hanya angkot tadi yang bergerak menjauh, juga tukang ketoprak yang mendorong gerobaknya di seberang jalan dengan muka putus asa.


“Wis to, Nduk. Melu Pak Rafli bakal terjamin uripmu.” Aku pun ingat perkataan Bapak tadi.


Jika Ibuk berat hati melepasku, Bapak lain lagi. Beliau malah tampak menggebu-nggebu. “Pak Rafli iku ndue ladang tebu berhektar-hektar, akeh pabrik ndek Jawa Timur, lan wis akeh pegawai sing disejahterane hajate. Salah sijine Bapak sing ngerasakne piye royale wong kui..”

Lihat selengkapnya