Sontak aku berdiri sambil mengitarkan mataku ke kanan dan kiri, juga ke belakang tubuh secara waspada. Aku yakin telah mendengar suara yang berat dan serak tersebut barusan. Siapa? Sementara tak ada orang lain di tempat sesempit ini selain aku.
Mendadak bulu roma di sekujur tubuhku meremang. Susah payah aku mengendalikan ketakutan ini dengan menggosok permukaan kulitku beberapa kali. Mataku masih menyapu sekitar, tapi percuma. Hanya langit kamar yang mulai dirambati sarang laba-laba, ranjang lusuh, dan lemari plastik yang mulai pudar warnanya yang tertangkap sepasang netraku.
Berikutnya suara gebrakan pintu semakin membuatku terkejut dan secara was-was menatap ke arah sumber suara. Aku menghela napas panjang, ternyata itu adalah sosok wanita paruh baya tadi yang datang. Kenapa tak bisa santai saat buka pintu, sih?!
“Ayo, metu. Sing liyane wis nungguni.” Perempuan yang kutaksir berusia kepala lima tersebut melambaikan tangannya padaku. Untuk kesekian kalinya, aku mengikuti titahnya tanpa bertanya.
(Ayo, keluar. Yang lainnya sudah menunggu.)
Walau begitu, sesungguhnya sejumlah pertanyaan berkelindan di kepalaku. Yang lainnya? Apa maksudnya ada pembantu lain di sini? Atau siapa? Tanpa terlihat, aku mengerutkan kening di belakangnya. Akan tetapi indra penciumanku malah menghirup aroma busuk samar. Bau apa ini? Aku berusaha mengendus, namun lebih memilih bungkam dan menyimpan tanda tanya dalam benak.
Perlahan bau itu mulai menghilang selama perjalanan. Melewati dua belokan di koridor gelap, kami akhirnya kembali ke ruang tamu tadi. Sampai di sana aku terperanjat sebab tiga perempuan muda lain seperti sedang menunggu kedatangan kami. Beberapa di antaranya mungkin seumuranku, batinku berharap.
“Awakmu-awakmu kudu kenal sik, ben iso kerja sama.”
(Kalian harus saling kenal dulu, biar bisa kerja sama.)
Aku meneguk ludah, lantas menghampiri perempuan paling tinggi, paling kurus dari antara mereka. Kebetulan ia inilah yang berdiri di dekatku.
“Halo, Mbak, aku Mida.” Aku mengulurkan tangan sambil merekahkan senyum seramah mungkin meski sebenarnya otot-otot wajahku kaku.
“Suci,” sahutnya. Singkat banget, apalagi tak ada ekspresi apa pun yang tercetak di wajahnya.
“Mbak umur berapa, ya?” Sumpah, begini-begini aku juga berusaha untuk memperpanjang percakapan kami.
“Selikur.”