Wajah Lain di Lukisan Rumah Majikanku

Bella Paring Gusti
Chapter #3

Bab 3

Perlahan lukisan sosok wanita berambut panjang yang tersenyum itu tampak kabur di kedua netraku. Lagi-lagi air mataku tumpah tanpa bisa kucegah. Semakin lama dada ini terasa semakin terkoyak. Aku mencengkeram pergelangan tangan. Entah kenapa aku merasakan sakit berdenyut-denyut di area tersebut.


Beberapa adegan menyedihkan masih berkeliaran di benakku bagai cuplikan film yang diputar. Mula-mula aku merasa pergelangan tanganku diremas begitu kuat. Sakit, aku mengerang. Lalu kedua kakiku dipegang secara paksa oleh sepasang tangan putih pucat, dan ditekan benda berat. Aku menggelinjang kuat-kuat, berontak.


Namun detik berikutnya, aku menyaksikan sebuah kematian di area pemakaman. Aku tak tahu siapa yang meninggal itu. Ada di mana aku ini? Tetapi aku merasakan pilu dan kesedihan luar biasa sampai kepalaku pusing bertalu-talu.


Aku juga melihat seorang wanita tertawa dari kejauhan. Sosok tersebut membelakangiku tak acuh dan kian menjauh. Ia justru seperti sangat puas tahu aku begitu tersiksa dengan semua perasaan ini, seluruh rasa sakit yang menggerayangi tubuh ini.


Aku menggeleng kuat-kuat dengan bersimbah air mata di kedua pipi. Tidak! Ini bukan kenanganku! Aku bahkan tak pernah punya pengalaman ini seumur hidup!


“Argh!” Tak terasa aku mengeluarkan pekikan keras. Aku berhasil mendapatkan napasku kembali.


Lalu, mataku menyisir sekitar dengan was-was. Dada ini naik-turun. Napasku terengah-engah.


Aku akhirnya sadar dan menguasai tubuhku lagi. Aku masih berada di lantai tiga, terduduk dengan muka sembab dipenuhi air mata. Ada apa ini?


Buru-buru aku mengenyahkan jejak air mata menggunakan tangan dan bangkit. Aku harus cepat pergi dari sini karena kejadian barusan sangat membuatku takut. Ada yang tidak beres, masa aku kesurupan barusan? Apalagi sekarang sudah menginjak magrib. Samar-samar azan berkumandang dari kejauhan.


Aku segera berlari pergi. Menuruni anak tangga dengan detak jantung menggila. Aku bahkan sudah tak memedulikan sapu yang kulempar dan kutinggalkan di sana. Tetapi kemudian aku menabrak seseorang tepat setelah kakiku menyelesaikan tangga terakhir.


“Mida kamu ngapain? Kok kayak dikejar setan ngono?!”


Ternyata itu Mbak Nana. Aku segera membuang napas kasar yang melegakan, dan berusaha mengendalikan degup jantung ini.


“Itu, Mbak, lu-lukisan! Lukisan, Mbak.” Telunjukku menuding atas dengan panik. Aku berusaha memberitahu Mbak Nana, namun sayang suaraku malah tercekat di tenggorokan.

Lihat selengkapnya