“Mida? Enek opo? Kok malah ngelamun?”
(Mida? Ada apa? Kok malah ngelamun?)
Aku terkesiap dan buru-buru menggeleng. Sesekali aku melirik gerak-gerik Bu Retno yang masih menghunjamkan tatapan menusuk padaku, seperti sedang mengancam, lantas bergegas pergi.
“Oh, nggak, Mbak.” Aku berusaha bersikap biasa. “Tapi, serius aku ada di sana selama tiga jam?”
“Lah, nggak percaya! Malah udah kayak orang semaput tahu!” Shasha mencibir. Tampangnya seperti tak suka padaku.
Tapi, ia memang benaran tidak menyukaiku, kan?
“Oh, maaf-maaf.” Aku hanya bisa mengucapkan permintaan maaf untuk segera mengakhirinya. Walau begitu aku masih kepikiran. Apa yang sebenarnya terjadi di sana tadi?
“Wis lah, sekarang kita cepet balik kamar aja. Wis malem juga ini.” Mbak Nana menggigit bibir sembari menengok jam yang tergantung di dinding.
“Di sini ada batas jam kerja ya, Mbak?”
Mendengar ucapanku sontak Shasha mengembuskan napasnya kasar, lalu membuang muka kesal. Berbeda dengan Shasha, Mbak Nana justru tampak cemas. “Loh, durung dikasih tahu ta?”
Aku menggeleng. Tetapi, berikutnya Mbak Nana malah langsung menarik tangan kami. “Yo wis, ayo cepet balik ae. Tak jelasne nanti pas ndek jalan.”
Mau tak mau aku menurut saja. Aku lebih memilih diam sebab pikiranku masih sangat kacau. Ada hal-hal yang tak bisa kujelaskan secara logika. Kami bertiga menuruni tangga hingga akhirnya mencapai lantai satu. Di sini sudah sangat hening.
Bahkan aku juga tak melihat Suci dan Bu Retno. Ada di mana mereka? Apakah sudah masuk ke kamarnya masing-masing?
Setengahnya Mbak Nana seperti mempercepat langkah sampai-sampai aku harus mengikutinya. Tiba di lorong, Mbak Nana berbisik, “Ojo keluar kamar di atas jam 9 malam apa pun yang terjadi. Wis, besok ae tanyane.”