Belajar dan menjelajah itu bukan pilihan karena bisa berdampingan tanpa perlu ada yang disingkirkan!
2009 awal saya melanjutkan sekolah, dari sekolah menengah atas ke perguruan tinggi. Saya diterima di fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, di salah satu Universitas Negeri termasyhur di Banten. Bermula dari sini saya sudah mulai mengenal istilah hijrah, ya, saya hijrah dari kota kelahiran saya di Tangerang ke kotanya para jawara di Serang, Banten. Rambut plontos, pandangan nanar, badan minimalis dengan untaian senyum maksimalis saya berjalan gontai, lalu masuk barisan membelakangi kakak mentor. Hari itu, hari pertama saya mengikuti masa orientasi mahasiswa yang ada di kampus. Rasa riang, lelah dan dongkol terangkum jadi satu. Hari demi hari saya ikuti masa orientasi itu tanpa alpa satu hari pun. Tibalah pada suatu momen tentang demo para UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa).
Semua UKM unjuk gigi demi mencari perhatian para Maba alias mahasiswa baru. Pertunjukan yang disajikan pun bermacam-macam sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Saya cukup terhibur kala itu menyaksikan kakakkakak menunjukan kebolehannya, dari sekian banyak pertunjukan yang disajikan para UKM, ada salah satu UKM yang membuat saya tertarik, dengan gaya anakanaknya yang nyentrik, rambut gondrong seperti menandakan sebuah kebebasan. “Kami dari mahasiswa penjelajah alam Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Mapalaut),” ucap salah satu anggota berkemeja cokelat dari kejauhan dengan mengenakan slayer oranye mentereng yang baru saja memaparkan tentang kegiatannya di alam bebas, dan baru saja mendapatkan juara umum lomba kebut gunung tingkat nasional di Cirebon, Jawa Barat. Hati kecil saya berkata, “UKM ini, ni yang gua cari untuk menyalurkan hobi gua.” Tanpa pikir panjang setelah acara masa orientasi mahasiswa usai. Saya pun mendaftarkan diri untuk menjadi anggota Mapalaut.