Begitu banyak kegiatan yang sudah saya lakukan selama menjadi koordinator Mapala se-Banten. Selama saya menjabat kurang lebih satu tahun enam bulan, dari sekian banyaknya kegiatan yang buat saya paling berkesan adalah kegiatan lokakarya konservasi badak cula satu. Ini merupakan suatu penelitian dan kajian ilmiah yang dilakukan teman-teman Mapala seBanten. Kajian yang menguras waktu, tenaga, dan materi. Semua itu kami lakukan dengan ikhlas dan tetap menjunjung keidealisan karena penelitian ini syarat akan politisasi. Kajian ini lahir dari kegelisahan para mahasiswa pecinta alam di Banten yang mendengar isu lingkungan terkait menyusul adanya pembuldoseran, dan rencana pemagaran Taman Nasional Ujung Kulon oleh proyek yang dinamakan Javan Rhino Sanctuary (JRS) yang kemudian berganti nama menjadi Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA atau Jarhisca) di Taman Nasional Ujung Kulon. Isu ini saya angkat, dan saya muat ke permukaan setelah melakukan acara pengibaran bendara 17 Agustus di Gunung Karang. Kami berembuk untuk menyikapi personal ini, dan kami membuat team penelitian terkait isu pembuldoseran dan rencana pemagaran di Taman Nasional Ujung Kulon. Kami pun sepakat untuk melakukan penelitian ini dengan transparansi, independensi dan tidak ada keberpihakan baik ke pemerintah ataupun pihak swasta, intinya kita menempuh jalan netral! Tiap-tiap perwakilan Mapala saya beri tugas dan tanggung jawab.
Himala yang pada saat itu diwakili oleh Fajar Shandika Negara di bagian aspek sosial. Saya pilih Himala karena organisasi Mapala ini berdomisili di Pandeglang, jadi jika melakukan kajian sosial menurut hemat saya pas, karena setidaknya sudah tahu karakter masyarakat Pandegalang. MBA (Mapala Benteng Alam) dari Tangerang di aspek hukum saya pilih, karena perwakilan yang hadir dari MBA ketika itu saudara Mahardika Eduardo ya setidaknya tidak terlalu buta hukum, dan kebetulan Dika kuliah di jurusan hukum. Posisi keberadaan MBA yang bermarkas di Tangerang pun menurut saya strategis karena dekat dengan ibukota, jadi kalau ada hal terkait surat menyurat yang ingin dilayangkan ke Kementerian Kehutanan dan jajarannya itu tidak terlalu menghabiskan waktu dan biaya, Sedangkan Mapalaut, organisasi saya sendiri yang kasih tanggung jawab di aspek ekologi. Karena kebetulan pada saat itu ketua umum Mapalaut Hasbullah ‘Cileuh’ nama lapangannya adalah mahasiswa jurusan Biologi, dan saya dapat informasi bahwa salah satu dosen di kampus kami masuk team kajian analisis resiko lingkungan (environmental risk assessment – ERA) semacam AMDAL proyek pemagaran tersebut (biar kita lihat mahasiswa dan dosennya beradu argumentasi ilmiah). Mapalaut yang berkedudukan di Serang, saya pikir pas jika Mapalaut sebagai jembatan antara Himala di Pandegalang dan MBA di Tangerang karena posisi Mapalaut pas di jantung pusat kota Serang berdiri di tengah-tengah antar Pandeglang dan Tangerang. Ini seperti posisi tiga bermuda.
Kemudian untuk Mapala-Mapala yang lain yang tidak saya sebutkan bukan berarti lepas tanggung jawab begitu saja, mereka tetap dibutuhkan dan masuk team support kami. Kami harus kompak karena yang kami hadapi adalah orang-orang ahli di bidang lingkungan yang sejatinya arif mengeluarkan kebijakan bukan melihat dari sisi financial lalu kemudian berpikir parsial. Proyek JRS/JRSCA/Jarhisca berencana membangun pagar beraliran listrik yang akan membelah tiga bagian TN. Ujung Kulon. Sebagai sekatnya, pagar listrik akan dibangun memanjang dari utara ke selatan, tepatnya dari Cilintang ke Aermokla (sekitar 28 Km) di sebelah timur, dan dari laban hingga karang laban (sekitar 2 Km) di sebelah barat. Area ini luasnya sekitar 4.000 hektar.
Kira-kira gambarannya seperti itu yang mereka inginkan. Ini yang membuat kami penasaran melakukan riset, dan harus keluar masuk hutan TNUK untuk mencari data-data valid apakah perlu dipagar listrik TNUK demi kelangsungan hidup badak bercula satu yang populasinya semakin hari kian memperhatikan. Dari tiga aspek yang kami lakukan, riset dari ekologis, hukum dan sosial, aspek sosiallah yang membuat saya terkesan. Di mana saya harus mewawancarai masyarakat di kawasan TNUK, baik yang pro mau yang kontra dengan proyek tersebut. Hati saya deg-degan ketika menyambangi orang yang paling pro dan vokal serta memiliki jabatan di desa tersebut, sebut saja pentolan atau orang yang punya kawasan. (Dalam hati, saya deg-degan takut diamuk), dari pertanyaan-pertanyaan kami ajukan, dan beliau menjawab serta mengisi kuesioner yang telah kami buat. Sekeras-keras orang jika maksud dan kedatangan kami baik, beliau juga menyambutnya dengan baik malah beliau menyatakan rasa simpatiknya terhadap mahasiswa pencinta alam yang ada di Banten yang peduli terhadap kelestarian TNUK. Karena kami para mahasiswa merasa bahwa Ujung Kulon bukan sekadar wahana bermain, tapi bagian dari tempat belajar kami di alam bebas. Rata-rata dari masyarakat baik yang pro dan kontra menyambut baik kedatangan kami, tidak ada intimidasi yang kami dapatkan selama kami melakukan penelitian selama setahun lebih. Masyarakat pun menunggu hasil kajian ilmiah yang kami lakukan, karena mereka pun sebenarnya sangat berharap terhadap penelitian yang mahasiswa lakukan, karena penelitian ini mengedepankan netralitas apa yang kami presentasikan, dan kami rekomendasikan nanti adalah apa yang kami lihat berdasarkan data-data yang ada di lapangan
Banyak ilmu, dan rentetan pengalaman selama saya dan kawan-kawan melakukan penelitian ini. Dari keluar masuk hutan, kantor balai Taman Nasional, sampai masuk ke kementerian kehutanan, dan lain lain. Karena penelitian yang kami lakukan melibatkan banyak pakar. Jujur capek, menguras otak dan biaya, tapi saya senang menjalani ini semua, dari sini saya banyak berkenalan dan berdiskusi dengan para profesor yang ahli dibidang lingkungan dari pelbagai perguruan tinggi. Setelah setahun lebih saya melakukan penelitian ini, tibalah waktunya untuk mempresentasikan hasil kajian ilmiah ala mahasiswa yang kami lakukan dengan tema kegiatan “Lokarya Konservasi Badak Banten”, tamu yang datang pun dari pelbagai instansi seperti : Balai TNUK, Kementerian Kehutanan, Dikti, Dinas Kehutanan Pandeglang, Ditreskrim Polda Banten, Perhutani, Polres Pandeglang, Disbudpar Banten, LSM lingkungan baik daerah maupun nasional, perwakilan masyarakat ujung kulon, organisasi pencinta alam se-Banten, dan lain-lain, masih banyak lagi yang tidak saya sebutkan karena keterbatasan ingatan.
Hari itu pemaparan demi pemaparan dari masingmasing bidang dipresentasikan kepada khalayak baik dari aspek ekologi, hukum dan sosial. Dilanjut dengan sesi tanya jawab, kemudian Focus Group Discussion (FGD). Seminar ini pun menghasilkan beberapa rekomendasi dari masing-masing aspek. Aspek sosial yang dipresentasikan oleh Fajar dan peserta yang tergabung dalam kelompok sosial menghasilkan beberapa butir pencermatan :
a. Perlu dibuat Management Plan untuk mencari solusi masalah masyarakat.
b. Perlu ada kelembagaan multi pihak untuk mengawal proses JRSCA.
c. Pentingnya penataan zonasi yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.
d. Pentingnya pendalaman-pendalaman data-data awal, baik untuk yang pro dan kontra.
e. Perlu pengembangan alternatif-alternatif ekonomi untuk peningkatan ekonomi warga untuk mengurangi ketergantungan warga pada hutan.
Dilanjut dengan peserta dalam kelompok Ekologi yang dipresentasikan oleh Hasbullah, sepakat waktu yang ada tidak cukup menghasilkan kesamaan pendapat, namun ada beberapa butir yang perlu dicermati, yaitu:
a. Mendukung rekomendasi-rekomendasi Mapala Se-Banten mengenai penelitian penyakit pada peternakan kerbau secara intensif, serta pembatasan manusia di leher (isthmus) dan diadakannnya penelitian-penelitian lain terutama dinamika populasi.
b. Masih belum bulat pendapat mengenai perlu atau tidaknya pemagaran dan hal-hal lain, yaitu : 1) Berbeda dengan alasan-alasan sebelumnya (dalam dokumen-dokumen resmi JRS/JRSCA/- Jarisca dan pernyataan di media-media) menurut Ka. balai TNUK dan perwakilan YABI, pemagaran diperlukan bukan ditujukan untuk mencegah orang masuk atau alasan-alasan lainnya tapi ditujukan untuk mencegah badak keluar. Karena ada data-data keluarnya badak ke perkampungan setelah adanya manajemen habitat. Peserta lain menanyakan apakah data badak keluar itu valid. 2) Seandainya pagar dibuat, desain harus dibuat tidak membahayakan badak dan satwa lain. Peserta lain masih menganggap pemagaran tidak diperlukan, maka hal ini tidak lagi penting. 3) Menurut TNUK dan YABI, nomor dalam strategi konservasi badak tidak berarti merupakan uruturutan prioritas kegiatan. Peserta lain menganggap jelas nomor dalam strategi adalah juga urutan prioritas.
Dan kemudian disusul peserta yang tergabung dalam kelompok hukum yang dipresentasikan oleh Mahardika Eduardo pada dasarnya sepakat mencermati tiga hal: