Wajah Nusantara

Miftah Darrussalam
Chapter #8

Merantau ke Borneo

Tidak ada suatu pekerjaan yang tidak bisa kita kerjakan, semua itu bisa dilakukan asalkan kita mau belajar dan jangan pernah berhenti mengejar!

Wisuda merupakan kado termanis di akhir tahun 2013 pun sudah teraih. Saatnya melebarkan sayap ke dunia kerja. Seminggu selang saya diwisuda, saya mendapatkan tawaran kerja dari kolega. Hp saya berbunyi, “Lu mau kerja, gak, tapi kerjanya di Kalimantan.” Kalimat ajakan yang saya baca dari pesan singkat. Pikir saya bercanda, tapi setelah berkomunikasi lebih lanjut, ternyata ini serius! Karena besok saya diajak langsung ke perusahaan yang membutuhkan jasa saya. Hasil dari pertemuan tersebut, saya dan teman-teman yang lain harus mengikuti terlebih dahulu pelatihan K3 pada ketinggian karena kerjaan saya kali ini tidak ada kaitannya dengan dunia pendidikan. Alhasil saya harus belajar kembali di pelatihan tersebut. Karena perusahaan tersebut hanya akan menerima pegawai yang sudah bersertifikasi K3 pada ketinggian.

Saya dan teman-teman yang lain pun diberikan pelatihan secara cuma-cuma alias gratis untuk mengikuti pelatihan K3 pada ketinggian, tapi sertifikatnya nanti diberikan pada perusahaan. Saya pikir pada saat itu tidak masalah sertifikatnya buat perusahaan, tapi ilmu pelatihan K3-nya bisa saya ambil, maklum namanya juga pelatihan dibayari perusahaan. Pikir polos seorang yang baru lulus kuliah. Selama tiga hari saya mengikuti pelatihan K3 di Bogor. Saya diajarkan pelatihan dasar dari pelajaran tali temali, P3K, dan bagaimana caranya safety kerja pada ketinggian. Setelah tiga hari mendapat pembekalan dan bersertifikasi K3 pada ketinggian, saya pun dikabari pihak perusahaan untuk bersiap-siap, jaga kesehatan karena awal tahun 2104 kalian akan berangkat ke Kalimantan Selatan dengan waktu yang belum ditentukan sampai kapan?

Pengalaman baru mendapat kerjaan tanpa menggunakan ijazah, hanya bermodalkan keahlian khusus pemanjatan yang saya terima ketika menjadi anggota Mapalaut. Jujur, saya buta tentang pekerjaan ini. Saya hanya punya keahlian dasar pemanjatan, selebihnya terkait perhitungan dimensi tower, menggambarkan sketsa tower baik tampak atas, tampak samping dan depan saya harus belajar bersama-sama mulai dari nol. Proyek ini sebenarnya lebih cenderung ke anakanak lulusan teknik sipil. Tapi, mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali, karena kita tidak akan pernah tahu tanpa mencoba. 

Tibalah saya untuk kali pertama menapaki rimbanya Pulau Borneo. Saya dan teman-teman langsung bergerak ke rumah Bang Rama, Bang Rama ini adalah senior dari Mapala Iwapalamika Banjarmasin. Awalnya ke tempat Bang Rama hanya ingin sekadar silahturahmi sambil meminta arahan untuk mencari base camp di daerah sekitar Banjarmasin, tapi Bang Rama bilang, “Ngapain cari base camp, tinggal aja di rumahku, toh aku tinggal sendiri di sini, jika ada kalian di sini jadi ramai.” Awalnya kami tetap ingin mencari base camp sendiri karena tidak enak jika harus berbulan-bulan di rumah Bang Rama. Karena Bang Rama tetap memaksa, ya jadi kita putuskan untuk tinggal di rumah beliau.

Sebelum saya melakukan pekerjaan yang awam tersebut, saya dan teman-teman diberikan training selama tiga hari di salah satu hotel berbintang di Banjarmasin. “Training-nya pun sudah terlihat sukar, bagaimana ketika kerja di lapangan?” rutuk saya dalam hati. Benar saja ketika pelaksanaan di lapangan saya adalah orang yang paling sulit memahami, bisa dikatakan saya adalah orang yang menghambat kerja team, perlahan demi perlahan saya belajar lama kelamaan saya mulai terbiasa dengan menggambar tower, menghitung dimensi ketebalan tower, dan belajar memotret dari ketinggian. Saya bisa karena  terbiasa, tidak ada suatu pekerjaan yang tidak bisa kita kerjakan. Semua itu bisa dilakukan asalkan kita mau belajar dan jangan pernah berhenti mengejar.

Akhirnya tower demi tower bisa saya taklukan, saya mendapatkan data tanpa adanya hambatan. Karena saya dan teman-teman sudah memahami mekanisme kerjanya dan pekerjaan kami, tuh nomaden perpindahan dari tower satu ke tower lain, itu artinya berpindah dari daerah satu ke daerah lain, hampir di daerah Kalimantan Selatan sudah saya kunjungi dari Banjarmasin, Pelhari, Banjarbaru, Sekumpul, Martapura, dan Batulicin bahkan masih banyak lagi hampir semua jazirah Kalimantan Selatan saya sambangi. Ini yang dinamakan kerja sambil jalan-jalan.

Dari daerah-daerah yang saya sebutkan di atas, Sekumpul adalah daerah yang menarik saya kunjungi. Sekumpul adalah salah satu kelurahan di kecamatan Martapura, kabupaten Banjar, provinsi Kalimantan Selatan. Di daerah tersebut ada salah satu pemuka agama yang sangat termasyhur, orang Banjar mengenalnya dengan Abah Guru Sekumpul. Abah Guru Sekumpul adalah ulama besar, asalnya dari Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Abah Guru wafatnya sudah bertahun-tahun yang lalu namun namanya masih harum, dan itu yang saya rasakan ketika di sana, dan yang membuat saya terkesima ketika memperingati hari wafatnya Abah Guru Sekumpul. Itu jalanan di kawasan Banjarbaru dan sekitarnya tiba-tiba lengang. Tapi apabila sudah  masuk ke kawasan Sekumpul, jangan harap kalian bisa leluasa bernafas, karena lautan manusia berjubah putih memadati daerah tersebut. Sebelumnya saya tidak pernah tahu tentang sosok beliau tapi yang jelas ketika saya mendengar riwayatnya beliau, saya sudah gandrung dengan karismatiknya beliau. Pantas jika warga di kisaran Banjar bahkan seantero negeri berbondong-bondong ingin datang ke acara haulnya Abah Guru Sekumpul.

Tidak jauh dari Sekumpul, ada satu kecamatan yang bernama Martapura. Kecamatan ini bisa dibilang surganya bagi kalian penikmat batu akik. Jenis batu yang dijajakan pun bervariasi, dari batu kalimaya, bacan, safir, zamrud dan yang paling terkenal dari daerah tersebut adalah kecubung Kalimantan. Pokoknya jika kalian sedang bertandang ke Banjarmasin, dan kalian adalah salah satu penikmat batu akik, jangan lewatkan kesempatan emas ke Martapura. Setelah asyik dengan batu mulia yang ada di Martapura. Proyek pun terlalu cepat berlalu, saya pun berkemas untuk melakukan safar yang cukup panjang ke daerah Batulicin sepanjang 262 km. 

Perjalanan ke Batulicin cukup menguras tenaga, perjalanan panjang dengan pemandangan tambang, batu bara, perkebunan sawit dan hawa panas sangat menyengat membuat perjalanan tidak menggairahkan. Tambang dan batu baralah yang membuat daerah ini kaya. Membahas soal tambang seperti membahas uang logam, karena memiliki dua sisi perbedaan. Satu sisi bisa menguntungkan segelintir orang, tapi bisa juga membinasakan alam sekitar. Kira-kira itulah yang terlintas di dalam benak saya ketika melintasi sepanjang jalan menuju Batulicin.

Membahas Batulicin tidak terlepas dari hal mistis yang pernah saya dan teman-teman alami. Jadi begini ceritanya, team saya yang beranggotakan: Yuda, Kombeng dan Agung pergi ke suatu Site (tower tempat kita mencari data), tower tersebut di daerah kota baru. Hari itu beranjak gelap ketika kita sampai Site, tapi kami dikejar target, dengan gagah berani kami semua masuk Site dengan pergerakan yang tergesa-gesa, tapi tetap mencari data dengan maksimal. Azan magrib berkumandang, entah kenapa kami cenderung mengabaikan. Karena pekerjaan kami sifatnya mencari data, dan harus ada foto dari setiap data yang kami ambil. Kami semua memfoto apa saja yang ada di Site tersebut, karena gelap kami menggunakan flash, setelah data terkumpul kami istirahat sejenak sambil melihat-melihat hasil bidikan kami masing-masing. 

Ada hal yang janggal ketika saya melihat hasil jepretan Agung, saya panggil Kombeng, “Beng ini apaan, ya?” Kombeng termangu bingung, kami saling bertatapan. Saya lihat kondisi Agung yang sudah mulai pasi dan cenderung banyak diam. Bergegas kami ambil tindakan, tapi kami tidak utarakan, seraya saya dan Kombeng sudah tahu ada yang tidak beres. Saya langsung tutup pintu kabin yang terbuka dengan tergesa-gesa. Kombeng beres alat-alat, dan Yuda siap-siap parkir mobil untuk segera bergegas pindah dari Site tersebut. 

Lihat selengkapnya