Definisi buku tak harus dinarasikan di sekolah, semua itu bisa dideskripsikan di alam raya!
Tujuh bulan berlalu, saya pun mendapatkan pekerjaan baru dari salah satu perusahaan yang menempatkan saya kerja di salah satu call center bank swasta ternama di negeri ini. Kerjaan saya kali ini sudah tidak lagi di lapangan, tapi berada di dalam satu ruangan yang seisi ruangan, ya gaung permasalahanpermasalahan yang harus siap saya hadapi, dari jadi seorang kuli di tanah Borneo, kurir di ibukota dan sekarang menjadi seorang pelayan di kota kelahiran saya sendiri. Penampilan yang awalnya singkat, kini saya harus tampil memikat meski tak ada satu pun yang terpikat. Awalnya berkaos, kini harus berkemeja lengan panjang dengan variasi dasi yang menjuntai dan celana bahan yang elegan menghiasi hari-hari saya (ini bukan gaya gua!). 2015 awal saya berkarir di perusahaan ini, dan setakat ini saya masih menjadi karyawan purna waktu, yang jam kerja dan liburnya tak menentu. Rasa jemu acap kali menghampiri bila liburan panjang bertemu. Di mana ketika orang-orang liburan berkumpul bersama keluarga dan handai tolan. Saya kerap berada di depan layar monitor, dan indra pendengaran saya terkadang sudah melambung jauh ke pulau-pulau Nusantara atau bahkan seantero dunia.
“Mas saya lagi di Bali, saya setor uang tapi uangnya dimakan ATM, Mas saya lagi di Manado, saya tarik uang tidak keluar, Mas saya dari Surabaya, ATM saya ketelingsut, dan Mas saya lagi di Amerika, ni internet banking saya terblokir”, dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang saya hadapi setiap harinya. Rasa dongkol tertahan dalam hati ketika amarah kerap kali menghampiri kuping sebelah kiri. Namun saya hanya bisa senyum sendiri sambil menghadap kaca sejurus dengan paras saya yang kurus. Intinya saya bekerja harus banyak-banyak bersabar dan istigfar kendati amarah berkobar, dan tak tahu harus kemana saya berkibar atas keluh-keluh yang saya dengar, paling mentok, ya buat laporan.
Semua itu saya hadapi sepanjang hari hingga purnama berganti. Hingga pada suatu hari saya bertemu dengan segerombolan rekan kerja saya yang satu hobi mendaki. Di toilet lantai dua saya berpapasan dengan Tobi Mamen, Mamen nama bekennya. Sambil buang air seni, Mamen mengajak saya.
Tobi Mamen : “Men, Lu mau ikut gak ke Merbabu?”
Saya : “Wuih kapan Men?”
Tobi Mamen : “Bulan depan, Men.”
Saya : “Boleh, Men gua ikut,” tutup saya sambil berbarengan menutup ritsleting
Rencana sebulan yang lalu pun ternyata bukan sekadar wacana, tapi memang terlaksana. Saya dan teman-teman SNR Adventure pun mendaki ke Gunung Merbabu. Di sepanjang perjalanan banyak hal yang kami ceritakan termasuk tentang queuing yang terjadi hari ini, (antrean call) Mamen bilang, “Paling bentar lagi kalian di telepon ni sama TL yang bertugas, disuruh on call (panggilan kerja dadakan).” Benar saja kata Mamen, kami satu persatu dihubungi kantor disuruh masuk, tapi perjalanan baru saja akan dimulai karena pada saat itu kami sedang berada di dalam mobil sudah memasuki kota Salatiga, Jawa Tengah. Panggilan kami tolak dengan nada halus karena kami sedang berada di luar kota, dan mustahil jika kami harus kembali ke BSD. Perjalanan dilanjutkan hingga ke jalur pendakian, kami tetap tertawa geli mendengar beberapa banyolan TL Jun baru. Pulung, PBS inisialnya yang bergaya nyentrik dengan topi koboi cenderung mirip Tompi.