Wajah Nusantara

Miftah Darrussalam
Chapter #10

Seusai Badai, Langit Pun Membiru di Puncak Rinjani

Sebelum azan magrib berkumandang, Abi dan teman-temannya tiba menghampiri saya yang belum terlalu lama menunggu. Kami pun langsung tancap gas menuju swalayan untuk membeli beberapa logistik, bekal pendakian besok. Di mobil Abi suasana riuh membicarakan soal apa saja yang ingin dibeli dan perlengkapan apa saja yang belum ada sepertinya kami sudah tidak sabar ingin secepat mungkin melengkapinya. Agar pendakian nanti bisa berjalan semestinya. Sesampainya di swalayan tanpa ampun mereka belanja logistik, batu baterai, obat-obatan, dan bahan bakar untuk memasak. Setelah belanja kami bergegas pulang ke rumah Abi untuk packing dan beristirahat.

Ketika pagi datang kami pun sudah siap menyambutnya. Mobil Abi sedang dipanaskan, rencananya kami akan diantar Ayah Abi untuk sampai di kaki Gunung Rinjani. Kami akan mendaki melalui jalur Sembalun. Perjalanan dari rumah Abi ke Sembalun cukup panjang karena hampir seharian saya di perjalanan, dan baru tiba di kaki gunung sebelum asar. Kami pun langsung mengurus perizinan ke kantor atau Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. Setelah mendapatkan izin dan menunaikan salat asar, kami dan pendaki yang lain sepakat untuk menyewa mobil terbuka untuk sampai ke jalur pendakian via Sembalun. Tidak lama kami berjalan, kami pun sampai di gerbang pendakian Gunung Rinjani. Perjalanadimulai dari pos satu yang dikelilingi dengan indahnya perbukitan dan hijaunya padang savana nan memukau, namun sayang pemandangan merah jingga di ufuk barat akan segera tenggelam seiring datangnya temaram. Hari mulai menghitam, kami mulai bersiap memakai headlamp tanda perjalanan malam menuju pos dua pun akan segera dimulai. Dalam dingin kami mengayun langkah demi langkah melalui jalan setapak yang disoroti taburan bintang-gemintang di atas mega. Perjalanan yang saya kira melelahkan ternyata pada kenyataannya adalah perjalanan yang menyenangkan, kapan lagi bisa berjalan di padang savana sambil diterangi sinar bulan purnama.

Perjalanan malam yang terasa singkat, tak sadar kami sampai di pos dua sebelum larut tiba. Saya dan Abi gegas mendirikan tenda lalu yang lain memasak agar makan malam tak seperti sedang sarapan. Tenda jadi, hidangan malam pun akan segera tersaji, tinggal menunggu nasi yang sebentar lagi matang. Kami sudah siap pada posisi masing-masing, makan dengan cara melingkar,dan nasi yang baru saja matang, kami jadi satukan di alas yang sudah kami persiapkan. Malam ini makan terasa nikmat karena makan bersama teman dan dalam guyuran sinar purnama menutup cerita perjalanan malam ini.

Sebelum sinar surya datang saya sudah bangun, dan mencari air, karena di pos ini ketika saya mendaki agak susah mencari pasokan air bersih. Saya dan Abi mencari air dari lubang-lubang yang berisi genangan air, air tersebut terpaksa kami saring lalu kami ambil dan kami masak untuk membuat secangkir kopi di pagi hari. Sisanya untuk bekal di perjalanan menuju pelawangan Sembalun. Setelah mencari air, kami kembali ke tenda dan memasak air untuk membuat minuman penghangat suasana. Tak dinyana, ketika kami sedang memasak air di pos dua ternyata ada beberapa pendaki yang sedang memasak juga di luar tenda, mulailah kami saling menyapa. 

Si kakak berjaket hitam dengan list kemerahan memperkenalkan diri,

“Saya Ingus dari Mapala LS, Bali.” Sontak saya terkejut,

“Kau adiknya Tole, ya?” saya bertanya terheran.

“Loh, kok kak tahu senior saya?” Ingus mempertegas. 

“Loh, saya baru kemarin singgah di kosannya Tole di Bali, Tole itu teman saya ketika di TWKM Bandung, Ngus,”

wah pendakian saya jadi ramai, ternyata dunia itu sempit, tidak bisa mendaki sama seniornya tapi bisa mendaki ke puncak sama juniornya. Saya pun jadi bertemu teman baru dari Mapala Fakultas Unram, ada Arya dari Mapala Fakultas Ekonomi dan Suja dari Mapala Fakultas Pertanian.Kami pun asyik bercerita sambil menikmati indahnya elegi pagi sebelum mendaki Bukit Penyesalan. Kopi habis itu tandanya kami mulai bersiap-siap kembali berkemas karena perjalanan hari ini akan menguras tenaga. Abi dan teman-temannya sudah jauh meninggalkan saya di belakang. Meski ditinggal saya tetap berjalan santai karena tidak mau terpancing suasana yang gersang dan terkadang ada rasa lelah lalu merutuk, “Udahlah hanya ingin sampai di sini,” tapi malu rasanya jika saya mengeluh. Saya melihat beberapa peramu antar yang mulai meronta, tapi malah cenderung gagah ketika mereka berjalan menyalip saya satu persatu. Semangat saya pun datang lagi, tapi tak begitu lama semangat saya pun hilang lagi ketika saya sudah sampai di atas bukit. Ternyata ada bukit lagi dan begitu seterusnya sampai langit cerah berubah merah jingga. Senja menyapa saya baru tiba di Pelawangan Sembalun dengan napas yang tersengal, dan keringat yang bercucuran menyirami jalur bukit penyesalan. Nyesalnya hanya ketika di jalan, tapi apabila sudah sampai Pelawangan Sembalun pemandangan yang memukau membayar semua rasa lelah saya. Saya menyaksikan indahnya danau Segara Anak dan kaldera yang membuat saya tak mau beranjak dari peristirahatan.

Tak lama Abi menghampiri saya, “Mif lama banget, kita udah nunggu di atas, kita udah dirikan tenda di sana, ayuk! Naik sebentar lagi, sampai camp kita,” Abi mengajak saya, karena sudah terlalu lama saya terpesona menyaksikan indahnya pemandangan di sekeliling Pelawangan Sembalun. Saya pun berjalan menuju camp bersama Abi, sesampainya di camp saya pun mulai menaruh perlengkapan pribadi dan team di dalam tenda, lalu keluar kembali mencari air mumpung belum terlalu gelap pikir saya, saya ditemani Abi mencari air, dan yang lain memasak untuk makan malam ini. Setelah kami kembali dari  mengambil air. Kami menunaikan salat magrib lalu dilanjut masak bersama-sama di dapur yang sudah kami buat untuk sekadar menghangatkan suasana.

Lihat selengkapnya