Wajah Nusantara

Miftah Darrussalam
Chapter #12

Dari Labuan Bajo sampai Waerebo

Pesawat saya mendarat mulus di Bali malam hari, waktu transit yang agak lama membuat saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu di Bali. Kak Nesia, teman saya yang ada di Bali menjemput saya. Rencana saya akan menghabiskan waktu malam dan pagi hari di Bali, karena pesawat saya dari Bali menuju Labuan Bajo akan take off siang hari. Sebentar saya dan Kak Nesia menikmati malam di Bali, lalu pulang karena besok pagi Kak Nesia harus bekerja. Kak Nesia bilang “Mif, kau mau ke GWK, gak? Besok pagi, masih sempatkan?” tanya Kak Nesia. “Kalau tidak jauh ayok, Kak,” kata saya. “Ya udah, besok pagi kita ke GWK, kebetulan saya sekarang kerja di GWK Mif, jadi bisa sebentar ajak kau jalan-jalan pagi liat-liat GWK,” kebetulan saya juga belum pernah ke GWK (Garuda Wisnu Kencana). 

Pagi-pagi saya dan Kak Nesia sudah tancap gas menuju GWK, menghirup udara pagi di area GWK itu menyegarkan saya. Melihat patung Dewa Wisnu menunggangi garuda yang masih belum jadi. Patung ini digadang-gadang akan menjadi patung yang lebih tinggi dibandingkan dengan Liberty di Amerika yang memiliki tinggi 93 meter. Sedangkan patung Garuda Wisnu Kencana nantinya akan memiliki tinggi 121 meter, dengan lebar patung 65 meter. Setelah puas mengelilingi area GWK, saya pun kembali menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sesampainya di Bandara, saya dapat SMS dari maskapai, memberi tahu bahwa penerbangan ke Labuan Bajo delay. Hati kacau seketika, karena jika saya terlambat terbang itu artinya saya ditinggal berlayar ke gugusan Pulau Komodo.

Saya pun menghampiri CS maskapai tersebut. Pihak maskapai menawari beberapa opsi. Pertama diganti uang, penerbangan besok, atau tetap berangkat menggunakan maskapai lain tapi memang jumlahnya terbatas, dengan segara saya pilih terbang dengan maskapai lain dan untungnya masih ada kuota. Akhirnya terbanglah saya dengan maskapai lain menuju Bandara Komodo di Labuan Bajo. Pemandangan menakjubkan terhampar jelas dari atas pesawat sebelum landing, Labuan Bajo dari atas saja sudah mempesona apalagi jika sudah melihatnya dari dekat? Setibanya saya di Bandara, saya bertemu dengan teman-teman satu trip, trip kali ini memang sudah dirancang oleh rekan kerja saya dan beberapa teman yang baru saya kenal di Bandar udara Komodo. Saya sendiri sebenarnya ada kolega di Labuan Bajo dan sudah janjian di Bandara apabila saya sudah sampai. Benar saja Bang Jandy dari kejauhan sudah memanggil-manggil saya di Bandara. 

Jenet, Jen, ke sini.” Bang Jandy memanggil saya, Jenet nama panggilan saya di kalangan Mapala. Bang Jandy ini teman saya waktu di TWKM Bandung. Karena saya bersama teman-teman trip yang lain, Bang Jandy pun memanggil angkutan umum untuk mengangkut kami semua ke penginapan. Sebelum ke penginapan kami berhenti dulu di salah satu tempat makan yang berada di bibir pantai, kami makan karena sedari siang menjelang kami belum dapat asupan nasi. Menu yang disajikannya ialah ikan bakar dan seafood yang menggugah selera. Setelah makan, baru saya dan Jandy antar teman-teman yang lain ke penginapan sedangkan saya ikut Jandy ke tempat kosannya. 

Malam hari, saya dan Jandy kembali ke penginapan teman-teman untuk meeting point bersama temanteman trip Labuan Bajo untuk membahas kegiatan esok hari, dan tempat mana saja yang akan kami kunjungi. Karena perjalanan ini share cost jadi kami harus bicarakan bersama-sama tentang biaya dan destinasi mana saja yang akan kami singgahi. Beda sama open trip, kalau open trip kita tinggal bayar dan ikut susunan acara penyelenggara open trip. Malam itu bisa dibilang jadi ajang perkenalan satu sama yang lainnya, karena kami semua belum saling mengenal. Jumlah yang ikut share cost kali ini sebanyak 26 orang jadi kami harus sewa 2 kapal. Awal perkenalan yang menggelikan bersama mereka tertawa satu sama lain padahal kita baru pada kenal, tapi sudah berasa suasana keakrabannya. Awal yang indah untuk mengarungi sebuah perjalanan. Biaya dan destinasi pun sudah kami sepakati bersama, tinggal tunggu tanggal mainnya besok pagi.

Pagi-pagi kami semua sudah bangun karena sebelum melakukan pelayaran kami akan melakukan perjalanan darat sebentar untuk mengisi waktu di pagi hari. Kami mengunjungi Goa Batu Cermin. Untuk mencapai tempat ini kami sewa dua angkot. Lalu melakukan perjalanan sebentar untuk sampai mulut gua. Suasana gua hening karena tidak terlalu banyak pengunjung. Kami semua masuk gua dengan peralatan seadanya. Menyelusuri lorong-lorong hingga masuk ke dalam, saya menemukan ketenangan di kedalaman. Melihat binatang nokturnal di sela-sela stalaktit yang sedang bergelantungan di langit-langit gua menghiasi perjalanan hari itu. Setelah puas kami berada di dalam gua, kami pun kembali pulang dengan tergesa-gesa karena hari itu hari Jumat, kami harus bersiap-siap salat Jumat. Kami pun salat bersama di masjid yang tidak jauh dari penginapan. Setelah menjalankan salat Jumat kami pun berkemas  untuk berjalan ke pelabuhan menuju kapal masingmasing, karena perjalanan mengarungi laut di Kepulauan Komodo akan dimulai.

Kapal melaju diiringi irama gemuruh mesin kapal dan riuhnya suara-suara anak-anak yang penuh kegirangan melihat air laut yang begitu berkilau bak permata berjatuhan di lautan. Tujuan pertama ke Pulau Kanawa. Pulau yang bersih berpasir putih dan dikelilingi perbukitan ini begitu mempesona. Ketika yang lain sibuk mengabadikan foto sendiri. Bang Lukman salah satu fotografer kami karena di trip ini terlalu banyak orang yang jago foto tapi cuma dia yang kerap mengingatkan kami foto bersama. Setelah puas menikmati indahnya Pulau Kanawa, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Gili Laba dan bukitbukit di sekitarnya. 

Sesampainya di Gili Laba atau Gili Lawa Darat, karena waktu beranjak gelap kami pun tidak terlalu mengeksplorasi tempat tersebut. Kami hanya menikmati lembayung menyala merah jingga dari bibir pantai dan rencananya malam ini kami akan menginap di bibir pantai Gili Laba. Semakin sore semakin banyak kapal-kapal yang bersandar sepertinya mereka pun ingin bermalam di sini. Suasana malam yang tenang, Kami pun makan bersama di kapal dengan menu yang tidak sederhana. Makanan sudah tersaji, kami tidak perlu repot-repot memasak karena di kapal yang kami sewa sudah merangkap dengan kokinya. Tak ada menu yang tersisa, semua habis digasak teman-teman.

Setelah perut terisi, kami pun bersantai bersama di atas kapal memandangi langit malam yang ditaburi bintang dan disoroti cahaya bulan. Amboi! Indah nian malam itu. Malam yang begitu indah, sayang jika dilewatkan dengan terpejam begitu saja. Bang Lukman mengambil speaker kesayangannya, musik mulai menghidupkan suasana, Bang Adin mulai mengambil senter klap-klipnya. Menandakan pesta malam dadakan di bawah guyuran sinar bulan akan dimulai, kami hanyut dalam suasana dan mulai menggerakkan badan bersama. Malam spesial penuh irama dansa di atas kapal yang jadi lantainya. Setelah malam reda, kami pun istirahat penuh dengan suka cita, terima kasih temaram.

Sebelum mentari menyapa, saya dan teman-teman pun bersiap mendaki bukit untuk melihat pendar yang terbit dari ufuk timur, teman-teman saya menyebutnya sunrise. Untuk mencapai bukit Gili Laba membutuhkan waktu 30 menit, dengan jalan yang tidak begitu terjal tapi tetap harus hati-hati. Di atas bukit begitu nampak jejeran kapal-kapal yang bersandar di bibir pantai air laut yang berwarna biru, di bawah langit yang biru membuat saya terharu. Siapa sangka saya bisa ke pulau seindah ini. Di atas puncak, ada beberapa juga rombongan trip yang sedang asyik sendiri menikmati indahnya bukit Gili Laba. Mereka asyik sendiri sedangkan kami asyiknya rame-rame karena Bang Lukman selalu punya ide kreatif untuk menyatukan kami, dengan speaker kecilnya dia putar lagu gemu famire. Bang Lukman menyuruh kita ikuti gerakan tarian Bang Lukman. Musik diputar, badan bergoyang. Pengabadian gambar kali ini diambil alih oleh Bang Rendy, fotografer kondang dari salah satu call center bank swasta ternama, dia adalah rekan kerja saya.

Lihat selengkapnya