Wajah Nusantara

Miftah Darrussalam
Chapter #13

Waerebo, Desa yang Mendunia Itu Berada di Nusantara

Jika tidak bisa jadi bagian terbesar, jadilah bagian terkecil yang memiliki arti.


Saya tahu, banyak keingintahuan teman-teman tentang destinasi kampung yang terletak di sebelah barat daya dari kota Ruteng, kampung yang lebih dulu mendunia baru meng-Indonesia, kampung di atas awan (Waerebo) namanya. Pada kesempatan ini saya ingin berbagi info untuk akses menuju Waerebo. Bandara Komodo (Labuan Bajo, Flores, NTT) adalah titik awal untuk bersua dan berpisah dengan kawankawan yang baru saya kenal, setelah mengarungi gugusan Pulau Komodo. Jadi mulailah berburu tiket promo dari sekarang. Agar waktu cuti yang tidak seberapa itu bisa dimaksimalkan, dan wajib saya syukuri. Dari Labuan Bajo bisa sewa mobil atau motor. Jika menggunakan motor jelas lebih murah satu rental motor seratus ribu per hari, jarak jelajah enam jam normal (bensin kurang-lebih tiga tanki, PP), sedangkan kalau menggunakan mobil, dua juta PP per lima orang jarak jelajah 6-7 jam. Jadi tinggal kalian bagi saja sendiri, ya. Karena ketika itu saya sepuluh orang, jadi kami pilih menyewa dua mobil.

Jika menggunakan mobil, jarak jelajahnya 6-7 jam perjalanan. Tenang kalian tak akan pernah jemu di perjalanan, karena sepanjang perjalanan kalian disuguhi pemandangan dari hamparan sawah yang membentang, belum lagi deru ombak air laut yang terlihat menyilaukan mata menjadi ornamen dalam sebuah perjalanan menuju Waerebo. Terlihat anakanak bersekolah sambil melambaikan tangan ke arah kami dan berkata "Kakak, tos dong," tidak ada di sini, “Om Telolet Om”, kalian sempatkan berhenti untuk say hello dengan mereka, karena gelak tawa mereka adalah pelipur lara di perjalanan. Meskipun jauh menuju ke sekolah, mereka tetap bersemangat tak ada rasa letih untuk melangkah menuju sekolah. Semua itu mereka lakukan demi melunasi janji kemerdekaan. Merekalah sejatinya generasi yang digadang-gadang akan mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua itu tertuang dalam preambul UUD 45. Sehabis bercengkerama dengan mereka, kami lanjutkan perjalanan dan sampailah kami di jembatan terputus. Artinya kami harus jalan menuju pos satu, kira-kira 30 menit menuju pos satu dengan ditempuh berjalan kaki. 

Sebenarnya bisa diakses menggunakan roda empat karena jembatannya putus, mudah-mudahan hati tidak ikutan putus ya, eaaaa, intermezzo dikit. Jadi dengan berlapang dada, dengan sedikit nada sumbang, kami harus memulai perjalanan dari jembatan putus ini. Oh iya, jika kalian yang tidak kuat berjalan bisa juga sewa ojek dengan harga dua puluh ribu per orang, tapi cuma sampai ke pos satu, ya! Dari pos satu, kalian bisa atur ritma napas sambil meneguk kopi hangat dan sebatang gudang garam pria punya selera. Di sini lah, awal mulai perjalanan menuju koordinat 8°46'8"S 120°17'2"E dengan ketinggian kurang lebih 1100 mdpl. Dari pos satu saya menuju ke pos dua, jarak yang ditempuh menuju pos dua kurang lebih 2 jam 30 menit dengan berjalan santai agak menanjak dan ditemani rintik hujan yang menjelma nada-nada riang dari jejatuhan air di dedaunan. Syahduuuu, bukan? Di pos dua, sedikitnya saya bisa berpose sejenak sambil menghela napas, setelah sedari tadi kami menanjak, nanjak dan nanjak. Dari pos dua, tinggal 1 jam 30 menit untuk mencapai peradaban kampung di atas awan, dengan medan yang sudah mulai melandai. Sampai nanti bertemu dengan jembatan bambu.

Jembatan bambu bukannya penghubung antara aku dan kamu, eaaaaa break saja dulu, cerita jangan terlalu ciussss. Tapi, ini memang jembatan untuk menuju Waerebo. Dari sini tinggal hitungan menit saja, setelah naik sedikit nanti kalian akan disuguhi lagi pemandangan atap Waerebo yang nampak menjulang dengan variasi sedikit bergaya ke-minangminangan. Jangan heran, loh, konon katanya nenek moyang orang Waerebo berdarah Minang. Namun di sini saya tidak akan membahas asal-usul kampung Waerebo, karena titik fokus kali ini bagaimana bisa membuat kalian yang membaca tulisan ini sampai dengan selamat ke desa adat Waerebo. Nanti jika kalian sudah menemukan pemandangan Mbaru Niang yang menjulang megah di hamparan rerumputan hijau artinya tinggal selangkah lagi kalian bisa menginjakkan kaki di rumah adat Waerebo. Ketika di sini, ada sedikit seremoni. Ada bambu yang menjuntai di pos informasi sebelum sampai desa, nanti bambu tersebut dikoyak-koyak agar mengeluarkan bunyi. Dikoyak-koyak? Asal jangan di koyak-koyak sepi saja. Hahaha, oke kita lanjut abaikan kesepian. Dikoyakkoyak itu pertanda masyarakat Waerebo kehadiran tamu. Di tempat ini kalian juga harus menyiapkan administrasi masuk ke desa adat Waerebo sebesar Rp325.000 per orang dan ada donasi seikhlasnya, dana tersebut untuk menginap di rumah adat waerebo. Dana tersebut nantinya sudah termasuk untuk ngopi-ngopi atau ngeteh, Kalau saya, sih jelas pilih kopi, dan kalian harus coba kopi Waerebo itu nikmat sekali, kendati rasa kopi dasarnya pahit tapi biarlah lidah saja yang cukup merasakan, tak perlu turun ke hati. Eaaaa…dana tersebut juga buat makan malam, dan sarapan pagi juga, loh. Kalau makan siang tidak ada, ya, karena sebelum siang kami sudah bergegas pulang. 

Akhirnya setelah jalan panjang, saya dan temanteman sampai di rumah adat Waerebo, rumah yang menjadi impian kami semua untuk ke sini. Ada upacara penyambutan yang dilakukan oleh kepala adat. Upacara yang tadinya kita tidak tahu maksudnya apa, karena si kepala adat berbicara menggunakan bahasa ibu, yang kami semua hanya bisa diam sambil celingak-celinguk menatap satu dengan lainnya dan berpikir keras, "Ini orang ngomong apa sih?” Tapi jika kalian tahu arti yang dilafalkan bapak kepala adat itu, amat menyentuh sanubari kami semua. Saya sendiri tahunya setelah Bang Maichel (guide) kami menerjemahkan ke Bahasa Indonesia, singkatnya seperti ini, "Baik kakak semua, selamat kalian telah diterima oleh leluhur kami untuk menjadi bagian dari keluarga Waerebo, dan kalian sekarang bebas mau mengambil foto atau sekalian berfoto bareng dengan bapak kepala adat," dan ketika saya tahu artinya, kami hanya bisa diam dengan mata berlinang.

Kirain hanya saya yang merasakan emosional yang teramat mendalam. tarnyata kami semua merasakan hal yang sama, Bang Lukman kawan saya sedari trip Labuan Bajo, dia tak kuasa membendung air matanya tatkala diterima menjadi bagian dari keluarga Waerebo, tak terasa bahagia tersirat dari mata yang berkaca-kaca. Kami semua sepakat kata-kata kepala adatlah yang mampu merungguh sukma menjelma menjadi air mata. Kepala adat di Waerebo adalah pemimpin yang mampu menghimbau pikiran kami. Saya pikir bukan hanya menghimbau, tapi mampu merebut hati kami semua dengan mantranya yang bias namun tersirat makna yang luas. Tak terasa senja hari telah menjelang, sang surya telah kembali pulang dan berganti dengan rembulan senja di ufuk barat, itu artinya saya harap bintang akan segera tiba menemani sang rembulan di langit Waerebo. 

Bintang-bintang di Waerebo menyambut malam bak menggoda kami semua, namun sayang ketika malam tiba langit nampak mendung jadi hanya sedikit bintang yang menjamu persinggahan kami di Waerebo. Tak masalah, walau tak beribu bintang tapi ada satu yang menemani malam itu cukuplah buat pengantar lelah saya dalam tidur. Selamat tidur Waerebo. 

Lihat selengkapnya