Wajah Nusantara

Miftah Darrussalam
Chapter #14

Menerabas Rerumputan Liarnya Way Kambas

Jika tidak bisa menanam pohon dimuka bumi , maka tanamkanlah di dalam hati bahwa kita tidak akan mengeksploitasi hutan untuk anak negeri!

Way Kambas adalah Taman Nasional yang terletak di Kabupaten Lampung Timur, dengan luas 1.300 km2[1] di Koordinat 4°55′LU 105°45′BT. Taman Nasional yang eksotik karena pertunjukan gajah liar yang dijinakkan. Begitulah kiranya daya tarik Way Kambas jika kita lihat di Pamflet atau acap terpampang di bagian depan media informasi Taman Nasional Way Kambas. Sayangnya saya sendiri tidak begitu tertarik melihat Way Kambas dari cover saja, terkadang cover bisa saja mengaburkan pandangan. Saya lebih memilih menikmati Way Kambas dari pintu belakangnya yang jarang terjamah oleh pelancong.

Wajah asing Way Kambas jika kita terabas dari pintu belakang. Penuh dengan tumbuhan liar (alang-alang) kemanakah hutan nya? Perlukah pertanyaan tadi dijawab oleh rumput yang bergoyang? “Mungkin apa yang Luh lihat sekarang ini tidak ada di brosur-brosur Taman Nasional mana pun”, begitulah ucap Fajar Sandika Nagara Simanjuntak, aktivis lingkungan yang acap melanglang buana ke hutan-hutan Nusantara. Sungguh beruntung penjelajahan saya kali ini ditemani kawan sejawat sedari kuliah. semasa kuliah kita memang sering masuk dan keluar hutan bersama meski kampus kita berbeda tapi satu guru yaitu alam raya. Banyak sekali yang ia ceritakan tentang sisi lain Way Kambas. Saya juga baru tahu bahwa tanah yang saya injak ini tadinya hutan yang banyak ditanami pohon-pohon besar “ditempat ini tadinya hutan karena luas, sehingga membuat manusia terlena dan mabuk kebayang yang pada akhirnya hutan tersebut dimonopoli oleh beberapa perusahaan kayu. Setelah beberapa tahun berkuasa akhirnya tiba diambang ke collapse-an. perusahan tersebut gulung tikar satu per satu. dari situ mulailah perambahan hutan secara massif oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Way Kambas yang buta pengetahuan tentang lingkungan”, pungkas nya. Tempat ini jarang pelancong yang tahu apa lagi pelancong seperti saya. Wajar karena akses menuju ke sini bisa dibilang penuh dengan perjuangan.

Dari mengarungi sampan yang minimalis sampai harus bermotoran di padang ilalang. Akses yang begitu tidak mudah dilalui. Sepanjang perjalanan sungai terlihat suasana yang rimbun nampak pohon-pohon besar menghiasi bantaran sungai. Namun itu semua hanya kiasan, jika kita masuk ke dalam sedikit saja, itu semuanya yang terlihat hanya ada alang-alang atau rumput liar yang mendominasi. Setelah perjalanan menggunakan sampan saya pun lanjut menggunakan motor modifikasi spesialis masuk hutan.

Hari sudah mulai gelap, namun perjalanan baru akan dimulai alat penerangan seperti headlamp mulai dipasang dikepala. Beruntung malam ini bulan nampak cerah, bintang gemintang berhamburan bak perhiasan malam yang berkilau bahkan sinarnya pun mampu menerangi sampai ke celah-celah jari-jari roda cross. Namun naas berjalanan malam pun harus terhenti, bukan berarti ingin menikmati malam yang indah ya! Tapi karena motor mogok, dikarenakan si motor kemasukan rumput liar jadi harus dijinakkan dulu rumputnya agar tidak terlalu liar. Namun kalian tak perlu risau semua itu bisa teratasi berkat Bang Arum yang piawai mengatasi yang liar-liar. Maklum dia sendiri kehidupannya liar, jadi sudah terbiasa dengan yang liar-liar. Karena keliaran itulah selau ada akal untuk mengatasi masalah dialam liar seperti Way Kambas.

Entah ini sabotase atau memang kejadian dari alam, namun yang jelas hal ini kerap terjadi dan ini nyata ada di Way Kambas! Sungguh ironi jika memang ada orang yang hanya berpikiran sejenak lalu bertindak tanpa memikirkan ekosistem di dalamnya. Melihat gambar ini apakah kita hanya bisa diam, menunggu alam bicara. Saya khawatir jika alam bicara kita juga yang menangis! “Oleh sebab itu kami berada di sini sambil melakukan penanaman kembali hutan yang entah ke mana rimbanya. karena kami punya tujuan untuk merestorasi kawasan rawa kadut menjadi hutan produksi kembali. Jika melihat sejarahnya kawasan ini tadinya adalah hutan produksi karena adanya illegal logging besar-besaran dari tahun 80 - 90’n dan menjadikan hutan produksi hanya tinggal nama. Karena itu kami memiliki cita-cita untuk merestorasi nya kembali ke khitah nya bahwa kawasan rawa kadut menjadi hutan produksi seperti dulu lagi.”, Seru Kang Fajar! “Ini lah salah satu contoh pohon yang kita tanam kembali” ucap Kang Fajar sambil menujukan pohon puspa. Ditengah-tengah perbincangan saya dengan Fajar ada salah satu seorang yang menggerutu. “ia kita mah menanam di sini tapi di sana pohon raksasa malah di roboh-in” ahhhh! saya tercengang dan langsung berpaling ke parasnya sambil bertanya maksudnya?

Pantas sedari tadi raut parasnya nampak resah seperti ingin berkelahi tapi hanya bisa menggema di dalam hati. Begitulah kira-kira tatapan nya nanar sejurus di hadapan saya sambil menunjukan potret ini, “ini dimana?” saya bertanya “ini di zona khusus”, ucapnya merintih “boleh saya ke sana?” beliau bilang “tidak semua orang bisa masuk zona itu, maklum zona khusus“ ceritanya pun dengan nada sumbang nan lemas seperti maling pohon yang di kejar-kejar Polhut. Kendati saya tau dia bukan maling, karena tidak sedikit juga di negeri ini “maling teriak maling”. Tak pelak batin ini merutuk rasa sesak merasuk ke sukma saya. Jika lihat potret ini banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak. Bagaimana bisa alat berat masuk kawasan Taman Nasional? untuk apa alat berat itu? bisa menari-nari indah pula di kawasan Taman Nasional! kayu yang tumbang di kemanakan? Sudah adakah kajian lingkungannya? lalu perizinan nya bagaimana bertabrakan dengan hukum lingkungan atau tidak? Pertanyaan saya ini memang buat resah. Sebenarnya bukan kapasitas saya juga bertanya, karena saya disitu hanya pengujung biasa yang ingin menikmati waktu liburan nya. Mungkin saja pertanyaan-pertanyaan saya tadi sudah ditanyakan dan sudah dijawab, saya yang tidak tahu, atau malah sebaliknya?

Terlepas dari itu semua melihat excavator bisa menari-nari indah dikawasan Taman Nasional. Saya jadi terpikirkan oleh nasib gajah, badak, monyet dkk-nya akan menari-nari indah di wahana yang mana lagi mereka? tak terasa hari sudah beranjak senja lembayung sudah menyapa di ufuk barat. Saya pun bersiap berkemas untuk kembali pulang. Di perjalanan pulang saya sempat singgah di kampung Bungur. Saya melihat beberapa anak kecil yang sedang memandangi para peternak ikan lele yang lagi panen dan saya coba menghampiri untuk sekadar say heloo dengan mereka. Bukan maksud hati kehendak mengganggu mereka, saya hanya ingin tahu sedang apa mereka di tambak? Ternyata mereka sedang menunggu orang tuanya panen lele. Sambil menunggu panen lele, saya jadi teringat buku yang diberikan oleh drh. Marcelius adi CTR sebelum saya masuk hutan saya sempat bermalam di kantor atau bisa dibilang di kediamannya beliau. Meski perbedaan umur kita terlampau jauh beliau selalu menanggap saya adalah kawan diskusinya. Beliau adalah pembimbing saya ketika saya sedang melakukan penelitian dan kajian lingkungan di Taman Nasional Ujung Kulon. Beliau si selalu bilang “kenali ni kawan gw Jenet dari Banten”, Jenet adalah nama panggilan saya ketika di Mapalaut. Tetap saja saya memanggilnya Beliau dengan “Bang Marcel”, karena perbedaan umur yang cukup telak, begitu lah sapaan hangat saya ke beliau. O’ ia saya sempat diberi buah tangan buku oleh beliau, buku tentang badak yang saya pikir buku tersebut menarik untuk dibaca anak-anak.

Lihat selengkapnya