---
Ada hal-hal yang tak bisa diajarkan oleh sekolah, seperti bagaimana caranya menjelaskan kepada negara bahwa Ayahku tetap manusia meskipun tak bisa menulis namanya sendiri.
Pagi itu, aku datang ke kantor kecamatan dengan map lusuh dan hati yang penuh gugup. Kemeja Ayah masih basah oleh keringat meski matahari belum tinggi. Bukan karena gugup—dia memang begitu setiap kali harus berurusan dengan “orang-orang meja”.
“Ayahmu nggak bisa tanda tangan?” tanya petugas berseragam, tanpa menatap kami.
Aku mengangguk pelan. “Cuma bisa cap jempol.”
Petugas itu menghela napas, seperti sudah lelah sebelum bekerja.
“Susah kalau nggak ada tanda tangan. Sistemnya ribet, Mas.”
Kupandangi Ayah. Tangannya kasar, penuh bekas luka. Tapi jari-jarinya gemetar bukan karena dingin—melainkan karena malu.
Malu karena dunia menilai manusia dari caranya mengguratkan nama di selembar kertas.