Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya di desa ini, aku terbangun dengan aroma nasi yang baru dimasak, disertai hiruk-pikuk suara ibu yang memanggil adikku untuk siap-siap ke pasar. Namun, ada yang berbeda pagi ini—sesuatu yang lebih mendalam, yang kurasakan melalui udara yang kental dengan ketegangan yang tak kasat mata. Ini adalah hari di mana kami akan kembali menjalankan tradisi yang sudah lama dilakukan bagi sebagian orang di desa ini.
Hari ini, kami akan melaksanakan tradisi "lempar nasi".
Aku belum pernah mengerti sepenuhnya mengapa tradisi ini dilakukan. Sejak kecil, aku hanya melihatnya sebagai ritual tahunan yang dilakukan tanpa banyak pertanyaan. Di desa ini, setiap tahun, pada hari tertentu, warga berkumpul di lapangan, membawa nasi dalam baki-baki kecil, lalu saling melemparkan nasi tersebut kepada satu sama lain. Seperti pertandingan yang tidak pernah ada pemenangnya, hanya ada rasa lapar yang diubah menjadi simbol pemberian.
Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang. Kata orang tua, ini adalah cara untuk mengingatkan diri tentang kelaparan yang dulu pernah melanda desa, untuk memberi rasa syukur atas setiap rezeki yang ada, dan sekaligus untuk menjaga hubungan antarwarga tetap kuat. Namun, aku tidak pernah benar-benar memahami kenapa nasi yang sudah dimasak itu harus dilempar, bukan dimakan.
Aku berjalan ke lapangan bersama ibuku, yang terlihat jauh lebih sibuk dari biasanya, seperti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar makanan dan keseruan. Di tengah lapangan, kami bertemu dengan warga desa yang sudah berkumpul. Beberapa mempersiapkan baki-baki nasi, sementara yang lain hanya berdiri dengan tangan di pinggang, menunggu ritual dimulai. Semua tampak biasa, seolah tradisi ini adalah sesuatu yang memang tak pernah bisa dipertanyakan.