Bangun. Bangunkan aku dari tempat ini. Ruang gelap nan pengap. Menyergap setiap rongga dada. Menjerat seerat annacoda. Napasku tersendat. Mencari ke sana kemari. Tapi gelap saja. Tempat ini sesak, sekaligus kosong. Entah perasaan apa ini. Aku lumpuh. Tak bisa bergerak.
Semuanya terjadi. Jari telunjukku dengan tegas mengarah padamu. Tapi empat jari lainnya mengarah padaku.
Bangun. Aku ingin bangun. Di ambang fana nan nyata. Aku ingin bangun. Bebas berlapang dada. Dari cengkeraman yang kau ciptakan dalam kehidupanku.
Fauzi Maulian melirik ke sudut pandangan. Tatapan sinisnya tertuju pada sosok tinggi menjulang yang berdiri membelakangi Fauzi. Deri sedang men-dribble bola basket di tengah lapangan yang terik. Deri tidak peduli pada pancaran ultraviolet memanggang kulitnya. Malahan dia asyik berkeringat mengejar pantulan bola demi berlatih tembakan lay up.
Sementara Fauzi duduk berjongkok di tepi lapangan. Bayangan pohon menaungi dirinya. Tetapi panasnya suasana mengingatkan pada neraka yang bocor. Mulut Fauzi komat-kamit mengikuti irama musik yang tersambung di earphone putih. Tangannya menjentik dan mengayun bak konduktor orkestra. Napas Fauzi begitu dalam saat merasakan tarikan melodi menyayat dan mengertak liar. Bersamaan itu pula detak jantungnya ikut menggila.
Tiba-tiba perasaan benci semakin tumpah ruah. Dadanya sakit sekali tiap menahan kebencian yang hadir di dalam telinganya. Arus amarah menggiring Fauzi entah dari mana bersama rintihan napas api yang setahun terakhir setia menemaninya.
Kres…. Kres… kres….
Fauzi menggelengkan kepala. Tidak tahan pada panas yang berasal dari seluruh lapangan. Pemuda berusia 24 tahun itu sulit menghindari gemeresik napas mengerikan itu. Dia merindukan bisingnya kehidupan malam yang tenang, mencipta banyak irama dan lirik sendu sebagai komposer lagu-lagu lewat MIDI Controller. Seruan-seruan bernada sosial disalurkan lewat musikalisasi puisi dan lagu-lagu indie ciptaannya. Segala kritik pedas mengindikasikan rangkaian muak pada pemerintah, selebritas, dan termasuk pada Fauzi sendiri.
Pengecut. Kres… kres… kres…
Tiupan panas kembali mendera Fauzi. Kemarahan dari dalam pikiran bermuara pada takut tanpa mendasar. Tiupan napas itu makin keras. Fauzi menyalahkan diri yang selalu gagal. Akibatnya, jiwa optimisnya termakan habis oleh kekeh kencang.
Pergilah, pengecut.
Fauzi menangkap pantulan bercahaya yang hadir dengan cepat. Dia terjengkang mundur dengan mata membeliak ngeri. Kadar oksigen sulit masuk ke paru-paru dan otaknya. Dia tersedak pada pantulan bercahaya tadi. Fauzi terus menunjuk ke udara. Pita suaranya malafungsi guna mengumpulkan suara.
Perhatian beberapa anak yang bermain basket teralihkan. Mereka mendekat ke Fauzi penasaran.
“Eh, wong edan iki kumat njadine (Orang gila ini kumat gilanya). Jangan dekat-dekat!” Amir menuding lucu ke arah Fauzi. Malahan remaja itu merekam keadaan Fauzi yang sekarat dalam tremor hebat.
“Hati-hati, ngamuk ntar. Enggak usah deket-deket.” Yanuar malah waspada.
“Ayo mulih, wis.” Suara lain menimpali, khawatir jika mereka diserang.
“Sakne, Rek.” Deri menyudahi omongan tidak bermutu sekaligus pengecut. Malahan Deri mendekat. Fauzi adalah tetangganya. Tentunya dia sekadar tahu jika orang-orang di rumah Fauzi akan memperlakukan dengan baik. Toh Fauzi tidak pernah mengusik siapa pun.
“Heh!” Yanuar mendorong bahu Fauzi dengan kakinya. Seraut wajah mengejek itu puas bisa melakukan tindakan amoral. Bermain-main dengan orang gila jauh lebih menyenangkan daripada tembakan tiga angka. “Tangi (bangun), Cuk.”
Suara tawa semakin membahana, kecuali pada Deri. Deri mengenal Fauzi anak yang baik dan sering melakukan kegiatan amal. Status-status di akun sosial medianya penuh kata-kata bijak. Siapa sangka jika sosok sangar Fauzi bisa memiliki mental setipis kertas basah. Pemuda itu malah mengidap skizofrenia setelah gagal menjalin hubungan dengan pacarnya setahun lalu.
Demi Tuhan. Jangan sekarang!
Fauzi memejamkan mata. Desiran adrenalin berpacu di sekujur tubuh. Tremor di tubuh semakin parah. Rasa kebas dan panas membaur bersama napas yang terus tersendat. Tetapi ada anak lain yang tidak peduli. Dia bermain bola setelah Deri gagal membidik bola basket ke ring.
Duk… duk…
Suara pantulan bola itu bagai detak bom tinggal beberapa detik menuju angka nol.
“Jangan!” teriak Fauzi keras dan mengatupkan kedua tangan ke telinga.
“Putus dari pacar gitu aja kok banci amat,” sindir Amir terus merekam.
“Iya. Lebai juga.”
“Cewek nggak cuma satu.”
Cemoohan tidak surut menyertai Fauzi. Tetapi konsentrasi Fauzi terletak pada suara bola berdebam jatuh dari ketinggian 3,05 meter mengagetkan Fauzi lagi. Bola itu menggelinding ke arah Fauzi. Fauzi menatap horor, kesulitan bernapas sampai air matanya tidak berhenti mengalir.
“Pergi kalian. Awas ada bom!” racau Fauzi akhirnya.