Randy baru sampai di sebuah perumahan elite. Suasana perumahan itu sangat tenang dan apik. Ada banyak orang-orang berduit yang rela menggelontorkan dana demi desain yang menonjolkan estetika dari arsitektur bangunan.
Yosi Megantara memang bukan senior biasa bagi Randy. Dia putra dari pasangan tokoh berpengaruh di lingkungan kota. Ayahnya seorang pebisnis yang malang melintang ke luar negeri untuk aktivitas ekspor barang. Ibunya anggota dewan daerah. Kendati punya latar bagus, Randy tidak suka satu kelompok dengan Yosi.
Bukan pula semata minder atas kemewahan rumah atau populernya Yosi sebagai mahasiswa abadi di kampus. Kapasitas otak Yosi yang menjadi alasan Randy enggan datang ke rumah mewah itu.
“Hadeh, yang mana sih rumahnya?” tanya Randy terus celingak-celinguk melacak rumah itu.
Deretan rumah sama menariknya. Yosi sama sekali tidak memberi referensi bentuk rumahnya. Malah Randy disuruh mencari nomor rumah saja, pasti langsung ketemu katanya. Sudah dua kali Randy mengelilingi blok yang sama. Tidak ada orang yang berpapasan dengan Randy. Tempat itu sangat sepi. Beberapa kali Randy bisa menangkap kamera CCTV yang mengintai di sembarang tempat.
“Beneran Yosi itu dah,” gerutu Randy menendang kerikil acak yang ditemukan. Dia kesal waktunya terbuang percuma. Mana si Yosi tidak kunjung membalas semua pesan dan panggilan Randy.
“Aduh!” Seorang gadis mengerang. Telapak tangannya menggosok bahu, sementara tangan satunya menenteng tas plastik. “HEH!” seru gadis itu marah.
Randy terkejut. Dia tidak menduga jika tendangannya mengenai orang lain. Ini salahnya tidak menoleh ke depan saat menendang kerikil.
“Maaf!” Randy menganggukkan kepala sekali. Merasa sangat bersalah sekaligus sebal juga diteriaki cewek pas siang bolong. Pastinya ini sangat memalukan.
“Kalau mau menendang, lihat-lihat situasi dong! Punya mata gak sih kamu tuh!” tegur cewek itu.
Rambut hitam si gadis berkibar diterpa udara yang bertubrukan kala sepeda motor milik kurir ekspedisi melintas. Dia memiliki penampilan luar biasa modis. Jaket kulit hitam dipadukan dengan hotpants warna senada. Tetapi dia mengenakan sandal berbulu dengan hidung kelinci mencuat ke depan.
“Yosi! Buka pintu gerbangnya!” seru cewek itu tiba-tiba, terus menekan tombol interkom tidak sabaran.
Ada suara klik sebagai tanda pintu sudah terbuka tidak lama kemudian. Sebelum cewek galak itu menghilang ke dalam rumah, Randy segera menahan langkahnya.
“APA?” tanyanya, ngegas parah.
“Permisi, Mbak. Apa ini rumahnya Yosi Megantara?” tanya Randy menahan napas.
“Hooh. Siapa kamu?” tanyanya curiga.
“Saya teman seke—“ ucapan Randy terpotong oleh dengkusan panjang cewek galak itu. “Oh, teman si Geblek itu,” sambung cewek itu sinis. Tampaknya sangat merendahkan Yosi. “Masuk aja. Dia menunggu temannya dari tadi.”
Siapapun wanita itu, pasti tinggal di rumah ini. Barangkali dia juga salah satu anggota keluarga Yosi.
Randy masuk dengan ragu-ragu. Sementara wanita itu mengekor di belakang Randy untuk menutup pintu gerbang.
“Permisi, Mbak,” ucap Randy sekali lagi. Tepatnya sungkan dipersilakan masuk tanpa tahu siapa dan apa hubungan persisnya dengan Yosi. “Kamu siapanya Kak Yosi?” tanya Randy. Matanya lekat menelusuri setiap lekuk wajah cewek cantik itu.
“Elina. Kakaknya Yosi.”
Randy membeku sesaat. Dia menelengkan kepalanya untuk menjelajahi tiap keping ingatan. Pemuda itu sama sekali tidak tahu potret mantan pacar Fauzi. Barangkali ini orang yang sama. Tetapi bisa jadi hanya kebetulan punya nama yang sama.
Elina masuk ke rumah. Aroma parfumnya yang manis menyelusup masuk ke indra penghidu milik Randy. Randy terus bengong di depan pintu rumah mewah bergaya semi tropis. Pikirannya kembali melayang ke Fauzi.
Elina, hanyalah sebuah nama. Namun, merekam banyak kenangan, luka, tawa dan segala emosi tidak tertebak bagi Fauzi. Setiap hari dan tanpa jeda disebut. Sepupunya yang malang terus dilanda ketakutan banyak hal. Tetapi cewek itu mementingkan ambisinya sendiri. Memilih kuliah di kota lain.
“Geblek! Kamu di mana, woi! Temenmu datang, noh!” seru Elina terus mencari adiknya. Tidak ada urat malu karena Elina baru bertemu dengan orang asing.
Elina sendiri tidak jaim. Malah terlalu banyak teman-teman Yosi main ke rumah, sampai Elina menyerah buat mengingat nama mereka satu per satu. Suara kencangnya memenuhi ruang tamu yang luas.