Fauzi sedang membaca buku motivasi. Dia sedang melatih diri dengan bacaan yang sebenarnya sulit dicerna. Otaknya susah menginterpretasikan isinya. Namun, dedikasi untuk bisa sembuhlah yang menyebabkan dirinya bertahan membaca kendati mulai mengantuk. Isi buku itu menerangkan tekad perubahan ke arah yang lebih baik. Di akhir paragraf, dia menemukan sebuah kutipan tiga kata yang menarik atensi.
Vive la Revolution.
Dalam bahasa Latin artinya adalah Hidup Resolusi. Fauzi tercenung memikirkan resolusi yang sudah digagas sejak kemarin, tepat saat dirinya memutuskan pergi ke lapangan di belakang kompleks perumahan.
Dia ingin berubah. Alam bawah sadarnya menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kembali ketika hormon serotonin dan dopamin-nya imbang. Kembali ketika dirinya berlapang dada menerima perpisahan menyakitkan.
Tetapi dirinya lebur dalam ilusi yang semakin menggigit. Dia memendam semua luka-lukanya di dalam kamar. Lantas ketika suara-suara berisik itu mengusik, Fauzi tertekan. Suara itu berupa ucapan Elina yang terus berulang, lalu disusul hinaan dan cacian. Saat Elina pergi, terdengar desis mengerikan. Fauzi tidak bisa diam. Dia menelusuri sumber suara. Hanya ada Elina yang diam mematung di depannya, kemudian terdengar ledakan keras. Elina hancur tidak terbentuk akibat terbakar oleh api besar.
Tidak heran jika Fauzi menghindari suara-suara terkutuk itu. Dia tidak mau melihat Elina menghilang dalam molekul mengerikan.
Fauzi harus bangkit. Bagaimana pun caranya, dia akan kembali normal. Sebab dia sudah terlalu lama berada dalam kegelapan, mengurung diri pada ketidakberdayaan memisahkan realitas dan imajinasi.
Situasi Fauzi sendiri tidak dalam kondisi yang baik. Pengobatan medis tidak cukup tanpa terlibat terapi lainnya. Dia harus berinteraksi dengan luar, salah satunya adalah sering komunikasi dengan keluarga. Fauzi terus menceritakan kecemasannya yang datang bertubi-tubi. Dia selalu panik pada sesuatu yang terjadi. Guna mengalihkan halusinasi datang, Fauzi membaca dan menulis poin-poin dari bacaannya. Kemudian pikirannya nyalang saat mencatat isi pikirannya lagi.
Vive la revolution.
Be alert, this delusion has swallowed you.
In the grey city.
Polluted air and cold temperature.
Infect rotten brains and spines.
Realize the tainted truth.
It’s a shell within a fractured subject.
FREE, LOVE, REAL, ILL.
Buat apa kamu menunggunya. Dia sudah tidak mau bersamamu, Fauzi. Kretek... kretek.
Senyuman Fauzi mulai menghilang. Dia menekan telapak tangan ke dada yang berdetak jantungnya cepat. Asupan oksigen terasa memadat. Fauzi berusaha menahan serangan ketakutan yang tiba-tiba dengan menarik napas dalam. Usahanya tidak berhasil. Dia terkulai lemas.
Matanya mulai berkunang-kunang disusul genangan air mata yang mengalir deras. Perasaan hangat mulai menjalar di tubuh dan semakin panas. Fauzi menjerit ada kebakaran. Panik dan tersedak di tempat.
“Fauzi. Fauzi!”
Ibunya yang pertama muncul untuk menolong Fauzi.
“Nak, tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”
Rahayu menangkup dagu Fauzi agar mata mereka saling melihat. Lalu dia memeluk putranya erat-erat untuk menenangkan pikiran Fauzi. Tetapi Fauzi semakin histeris. Pelukan Rahayu mencekik Fauzi. Dia ingin lepas dari jeratan panas menyiksa dalam imajinernya.
Pemuda itu merasakan panas semakin menjalar. Api menjilati sekitar badannya. Bola api yang ada di lapangan basket, terus muncul tanpa henti dari kemarin. Hanya saja sejak tadi Fauzi menahan diri untuk tidak terpengaruh.
“Api. Hati-hati dengan api. Minggir, Mama! Minggir!”