Di bawah lampu sorot, musim hujan, sekitar tahun dua ribu sebelas.
Piring-piring berisi pisang goreng mengepul di atas meja, lengkap dengan dua cangkir teh teh manis gelas kecil dan besar. Sudah lebih dari setengah hari, selepas sholat subuh, hujan belum juga mereda. Bebera kali derai hujan justru menderas, ikut terseret angin dari selatan.
“Langit Ranjana, kamu dapat buku ini dari mana?” Biyung bertanya, menelisik Langit kecil yang masih asyik bermain gangsing di depan rumah sembari menikmati suara hujan.
“Dari Mbah Pati” Jawab Langit, “Kemarin minggu, Langit dan Bulan Ayu bertemu Mbah Pati, selepas ngaji. Katanya, Mbah Pati habis pulang dari Kalimantan dan mau ke Sumatra. Tapi, sewaktu Bulan Ayu mengatakan itu jauh sekali, Mbah Pati justru tersenyum dan mengatakan kalau jaraknya dekat, hanya perlu berjalan kaki”
Derai hujan yang terbawa angin menyapu separuh wajah Biyung. Wajahnya berubah menjadi serius mengamati anak laki-lakinya yang berusia delapan tahun tersebut.
“Kenapa kalian tidak bercerita pada Biyung atau Abah?” Biyung tampak risau. Buku kecil beludru usang itu masih dalam genggamannya.
“Karena Mbah Pati bilang suatu saat Biyung dan Abah pasti tahu”
Langit kecil mendongak, matanya berpendar indah di bawah lampu sorot.
“Biyung terlihat tidak senang. Langit dan Bulan Ayu melakukan kesalahan, ya?”
Biyung menggeleng. Sebelah lengannya terangkat, mengusap kepala plontos Langit dengan sayang.
“Biyung hanya khawatir. Kalian masih terlalu dini untuk mengerti hal-hal seperti ini”
Hening. Halaman rumah legang. Hujan menderas. Satu dua kali, gemuruh guntur menggema, bernyanyi bersama mega yang bersedih hati.
“jadi, cerita di buku itu benar?”
Biyung tidak menjawab.
Langit menunduk, mengamati gangsingnya kembali. Wajahnya berubah sedih.
“Segara itu melambangkan suatu emosi (hawa nafsu) yang terkadang tenang dan bergejolak. Serperti halnya pasang dan surut. Iman yang naik dan turun. Manusia di ciptakan selalu mempunyai alasan. Bukan untuk bertahan hidup. Melainkan beribadah pada Gusti Maha Pencipta. Suatu keberkahan bilamana Engkau di beri kelebihan oleh Gusti Allah. Biasanya, Titisan akan menjadi sebuah pertanda. Memberitahu sejarah pada generasi-generasi penerus Nusantara yang tak terasa lagi Nusantara. Wahai, Engkau yang menjadi pilihan, Bijaksanalah dalam berikap. Engkau akan menjadi panutan. Contoh yang baik entah dari ahklak atau budi pekerti. Jagalah tawamu, agar tidak hilang wibawamu. Berkelanalah keseluruh Nusantara dan carilah guru-guru hebat. Contohlah Baginda Rosulullah S.A.W. Contohlah para Wali. Contohlah Guru-gurumu. Contohlah orangtuamu. Agama bukan hanya mengenai identitas. Agama adalah jalan Engkau lebih dekat dengan Gusti Maha Pencipta. Bijaksanalah dalam bersikap. Karena kelebihanmu adalah amanat dari Gusti Maha Pencipta. Untuk Bumi Nusantara dan bekal Akhirat” Ujar Langit. Matanya kembali mengamati Biyung. “Biyung tahu apa artinya tulisan itu?”
Biyung membelak. Nafasnya tertahan di tenggorokan. “Kamu bisa membacanya?”
“Bulan Ayu yang menerjemahkan aksaranya. Langit hanya membaca terjemahan Bulan Ayu dan menghapalnya”
Tidak ada balasan apapun dari Biyung. Langit kecil kembali menunduk, sedang perasaannya bertambah cemas.
“memang artinya apa Biyung?”
Hening. Cukup lama Biyung terdiam, memikirkan sebuah jawaban, sebelum menjawab.
“itu artinya, kalian berdua harus banyak belajar”
Langit mendongak. “seperti di sekolah? Belajar matematika?”
Biyung kembali mengusap kepala plontos Langit dan mengecup singkat keningnya penuh kasih sayang.
“Ya, hampir seperti itu” Biyung tersenyum simpul. Wajah Ayunya tersiram cahaya temaram dari lampu sorot. Matanya meredup, dengan ujung-ujung yang hampir menumpahkan air mata. “Tidak perduli jika suatu saat nanti kalian harus berkelana untuk menimba ilmu, bahkan sampai harus menjelajahi nusantara, ingatlah ini, Nang. Jangan lupa untuk kembali pada keluargamu. Pada Orang tuamu. Karena Orang tua adalah orang yang harus kalian muliakan di dunia ini”
“Biyung dan Abah?”
“Do’a Biyung dan Abah selalu menyertai kamu, Nang. Semoga panjang umur dan sehat selalu”