WAKTU BERSINGGAH

Rohmaenun Jenita Lestari
Chapter #3

Episode 3 "Waktu bersinggah"

Dari sekian banyak hal yang menarik dalam diri Januari, hanya ada satu yang paling menggetarkan jantung sampai di luar batas.

Tatapan matanya.

Bulan berpikir semalaman. Apakah Sang Pemilik Kekuatan sengaja menciptakan mesin penghipnotis itu pada Januari?

Bulan masih memikirkan jawabannya sore itu. Tapi, eksistensi seseorang yang sedang duduk di taman sekolah membuat beribu pertanyaan kembali muncul.

Januari Chander.  

Bagaimana bisa, di saat Bulan masih belum mengerti mengenai kenapa tatapan mata Januari terasa menggetarkan, justru di suguhkan senyum simpul dari Januari tanpa bisa di prediksi?. Yeah, meskipun senyum itu bukan untuk Bulan, sih.

“merupa hingga membuat sinting. Oh, di selidiki ternyata senyummu”

Bulan memutuskan untuk menyapa. Dia berjalan mendekat ke tralis besi yang menjadi pembatas sekolah kejuruannya dan sekolah Januari. Jadi, sekolah mereka itu bersebelahan. Mepet sekali.

“Kamu—”

“Bulan” potong Bulan, kembali menyuguhkan senyum.

Januari menahan nafas. Wajahnya tiba-tiba memerah sampai telinga. Buru-buru, Januari itu memalingkan wajah. Terlihat canggung sekali. Eh, atau sedang menyembunyikan sesuatu?

“udara sore ini agak panas” Bulan sengaja menjeda dua detik. Senyumnya terkulum di ujung bibir seiring langkahnya semakin dekat pada posisi duduk Januari. Tralis besi masih menjadi penghalang. Meski begitu, Bulan yakin sekali kalau Januari sempat melirik ke arah langit dari ekor matanya. Mendadak, wajahnya seolah bertanya-tanya. Jelas saja. Hari ini cuaca mendung. Bahkan, sedari tadi sesekali angin berhembus kencang dari arah timur.

“Apa kali ini, itu yang menjadi penyebab wajah kamu memerah?” Bulan melanjutkan tiba-tiba.

Januari membelak. Wajahnya semakin memerah. Dia kembali memalingkan wajah. Kedua lengannya yang di kusri mengepal.

“J-jadi, kamu anak SMK 1?”

Bulan mengulum senyum sekuat mungkin mendengar usaha Januari untuk mengalihkan pembicaraan. Dia sudah tahu jawaban atas pertemuan pertama mereka.

“Iya” jawab Bulan. Dia tidak mau merusak usaha Januari untuk mengalihkan pembicaraan. Meskipun, wajahnya justru semakin memerah sampai telinga.

“terus, kenapa kamu bisa ada disini?”

“takdir”

Tanpa sadar, Januari menatap Bulan. “kamu percaya hal seperti itu?”

“Tentu. Segala sesuatu sudah pasti sudah tertulis” jawab Bulan. “dan menurutku, kebetulan tidak mungkin bertemu lagi dengan orang yang sama”

Kesiur angin berhembus pelan. Januari di sana, duduk dengan jarak dua meter, menghadap Bulan. Satu dua kali, hembusan angin menerbangkan guguran daun dari sekolah kejuruan Bulan, terbang hingga jatuh di halaman sekolah Januari.

Bulan melangkah lebih dekat. Matanya berpendar indah di bawah matahari sore.

“kamu terlihat tidak percaya, bahwa pertemuan ini memang sudah di takdirkan”

Januari mengangguk singkat. “di dunia ini, gak ada yang namanya takdir. Kita yang menentukan masa depan kita”

“ya, separuh benar. Tapi..” Bulan sengaja mendeja. Matanya menemukan mata Januari “kita lihat saja kedepannya. Apakah kamu masih akan berfikir seperti itu setelah bertemu denganku untuk yang ketiga kalinya”

“maksud kamu?”

Bulan menggidikkan bahu, “lihat saja nanti. Ngomong-ngomong, sudah sore. Aku harus pergi. Tapi sebelum itu, boleh aku mengatakan sesuatu?”

“apa?”

“Jangan terlalu lama memandang sore”

“kenapa?”

Lihat selengkapnya