Dini hari tadi, aku menyeduh kopi untuk teman berdiskusi dengan semesta.
Rasanya asin, karena aku salah memasukkan garam, bukan gula. Tapi aku baik-baik saja, tidak perlu cemas. Kalau mau ku buktikan, aku masih bisa menggombal, meski lidahku mati rasa. Asinnya luar biasa bandel, menempel tidak mau pergi. Tapi kalau aku jadi asin yang bandel menempel di lidahmu, tolong, Jangan menyuruhku pergi.
Meskipun tidak enak, percayalah, Kamu perlu asin untuk menyeimbangkan manis yang sudah kamu borong untuk pesona kamu sendiri. Herannya, aku tidak masalah kena diabetes hanya karena kamu pandang.
Selamat pagi Januari.
Jangan penasaran bagaimana surat ini sampai. Semesta sedang berbaik hati membantu tanpa menagih ongkos kirim. Jadi, aku hanya ingin laporan kalau diskusi dini hari tadi lumayan menyenangkan.
Dari Bulan, gadis yang sangat mempercayai takdir.
Januari mengamati surat itu lama. Hatinya berdesir hebat hanya karena sebuah surat tulisan tangan dari Bulan yang kebetulan Januari temukan di selipan tralis pagar rumahnya.
Ada yang aneh. Gadis ini berbahaya. Lebih-lebih, kenapa jantungnya berdegup begini?.
“Tuan muda memanggil saya?”
Januari melirik dari ekor mata. Tubuhnya sengaja tidak berbalik.
“Ya. Aku pengen Pak Lee cari informasi tetang Bulan anak SMK 1 yang rambutnya sebahu. Aku pengen dua hari lagi udah selesai”
Pak Lee mengangguk. “Saya mengerti, Tuan Muda”
* * *
Senja sudah memikirkan semalaman jika minggu pagi ini, dirinya akan berjalan-jalan di dekat alun-alun sekaligus membeli sarapan.
Suasana ramai. Sesekali, rombongan keluarga lewat sembari menuntun sepeda di ikuti anak-anak mereka yang juga menuntun sepeda mini. Yeah, setiap hari minggu memang sering di adakan acara car free day. Semacam program bebas kendaraan bermesin untuk menciptakan satu hari bebas polusi. Senja sangat setuju. Pernah, Senja ingin ikut. Sayang, dia tidak bisa naik sepeda. Jadi, setiap hari minggu, Senja selalu menjadi penonton yang punya sifat iri saat melihat keluarga yang kompak seperti barusan. Faktanya, Kedua orang tua Senja selalu sibuk.
“Kalau nasinya tidak di habiskan, nanti menangis, lho”
Senja tersentak, menengok cepat ke depan. Seorang pria tua, memberikan senyum ramah. Kalau di kira-kira, mungkin berumur pertengahan enam puluh atau lebih sedikit.
“eh, enggak.. ini mau di habisin kok” Senja menjawab. Buru-buru, Senja memasukkan suapan penuh ke dalam mulutnya. Kembali makan dalam diam.
Suasana warung nasi uduk agak ramai. Beberapa pembeli terus berdatangan meski tidak makan di tempat.
“pelan-pelan saja, Nak Senja..”
Matanya Senja membelak. Hampir saja dia tersedak kalau tidak cepat-cepat meminum air dan menelan kunyahannya meski masih agak kasar. Tapi Senja tidak peduli. Ada yang lebih penting.
“Kakek tahu nama aku?”
Kakek di depan Senja mengangguk santai.
“Iya. Nama kamu Senja Aksara Tilas, kan?”
Senja menelan ludah. Dadanya jadi berdetak cepat. Jangan-jangan kakek ini—
“kakek bukan penguntit kalau itu yang kamu takutkan, Nak. Lagi pula, kalaupun kakek mempunyai niatan sepeti itu, kakek lebih memilih menguntit artis kesayangan kakek daripada anak kecil seperti kamu. Bukan selera kakek”