Apakah kau letih, Sayang? Terlihat ayun batang kakimu goyah dan terdengar serak-serak menambah aus telapak sandal perempuanmu tergores aspal jalan lokasi wisata pesisir utara pulau Jawa. Berapa banyak waktu terpenggal yang tercatat pada arloji perak yang melingkar di lengan kirimu. Kukira cukup lama kita bersama di sini, dalam alunan musim bulan Juli. Bila kau pandang langit, maka tak perlu banyak waktu bagi tajam matamu untuk mengakui ketajaman sayat sang surya yang nyalang. Sementara di pintu pori-pori kulit keningmu yang langsat, sesekali kulihat bintik-bintik keringat. Aku ingin mengusapnya dengan tanganku—seperti ibu yang kerap merapikan aku waktu kecil dulu—, namun lebih dulu terserap dan terbawa dalam sapuan angin utara.
Pada sejenak kebisuan-kebisuan kita di antara kemeriahan para pengunjung bermain di batukarang-batukarang itu yang berderai dengan tawa-canda dan olok-olok mesra bersama cipratan sekumpulan air mengenai tubuh mereka, dalam dadaku sama bergemuruhnya dengan ombak laut yang hijau-biru itu. Aku resah setiap kali kilau arloji perakmu itu mendarat di wajahku. Seperti sebuah peringatan sebelum menampar, yang akan menyurukkanku pada sebuah kenya-taan; bahwa sebentar setelah ini, kebersamaan kita akan segera diakhiri.
Kau tahu, Sayang?! Tak ada gerak yang lebih stabil dari gerak jarum jam. Tersedia malam bagi manusia untuk merebahkan badan, menjadi bukti bahwa kita pernah letih. Bahkan setiap hari kita pun payah. Dan di dalam kestabilan itu tersimpan juga sesuatu yang dahsyat. Kau pernah menyesal, Sayang?! Atau siapa juga yang tak pernah menyesal?! Itulah kedahsyatan waktu yang mendesak tanpa ragu.
Meski begitu, aku cukup terhibur. Pada kebersamaan kita ini, kau seperti memahami gemuruh di dadaku dengan tidak melihat-lihat waktu yang tertanda di arloji perakmu. Kau pun berhasil menutupi rasa letih dengan memekarkan senyum setiap kali kita saling beradu mata.
Yap, lihatlah, Sayang! Bangku di balai depan itu menjadi kosong. Seorang ayah, ibu, dan dua orang anak beranjak pergi. Barangkali mereka hendak pulang sebab hari telah jatuh dari pertengahan siang. Begitulah, refreshing pun telah usai.
“Ke sana,” ajakmu tersenyum menunjuk ke balai itu. Sebentar kita pun bersandingan mendudukkan badan seraya memandang jauh ke hamparan lautan. Terasa angin utara mengelus wajah. Dan rambutmu yang hitam tergerai menampakkan sisi kanan lehermu yang pualam.
“Kering sudah,” katamu memeriksa baju. “Kau?”
“Kering juga.”
“Syukurlah. Kita tak jadi pulang dengan baju yang basah.”
Ya. Bicaralah, Sayang. Teruskan. Mataku berbinar melihat lesung pipit di pipimu yang timbul-tenggelam oleh tarian bibir merahmu yang sedikit tebal.
“Sekali lagi terima kasih. Andai tak ada kau, barangkali aku akan tenggelam terbawa ombak lautan.” Aku tersenyum.
Benar. Saat kakimu terpelesat di batukarang dan menceburkan tubuhmu beberapa waktu yang lalu, kukira kau tak bisa berenang. Dalam kepanikan, kedua tanganmu menggapai-gapai seperti orang yang akan tenggelam, terseret pasir hisap yang keras. Padahal, jika kau benar-benar merasakan pijakan kakimu, maka hanya sebatas leher, tubuhmu tercelup dalam air laut.
Memang begitulah, aku pun pernah merasa panik. Tiba-tiba saja, semua tampak gelap dan tak menyisakan meski hanya sesepai harapan. Tercengkeram bayangan terjauh dari ketidakberdayaan. Ketakutan dari ancaman sesuatu yang tidak kita inginkan.
Akan tetapi, Sayang. Aku sebenarnya tak pernah berharap kau dirampas maut yang muncul menjelma air laut. Dan kalaupun kau tenggelam, aku pasti menyelami lautan untuk mengembalikan dirimu pada kehidupan. Tidak hanya membantu mengangkat tubuhmu ke permukaan seperti yang kulakukan barusan. Kau masih muda dan cantik. Banyak kesempatan yang bisa kaudapatkan.
Apakah kau menduga, Sayang?! Sebenarnya sebelum kau tercebur, aku sudah lama berada di batukarang—paling timur dari tiga batukarang yang menjulang menyerupai katak—dan memperhatikanmu. Diam-diam pandang mataku terserap saat kau berjalan mendekat. Tampak di mataku kecantikan seluruh perempuan bersekutu pada dirimu. Aku bergetar. Saat kau lewat di depanku, dadaku menggelucak ingin menyapa. Namun, tetap saja tak juga mengalir sebuah kata. Salam. Tersumbat diam.
Maka beruntunglah diriku, tiba-tiba saja langkah kakimu yang seperti tak menjejak itu tergelincir. Dan nasib memihakku untuk mengangkatmu.
“Kapan kau kembali ke Sumatera?”
“Ehm,… besok,” katamu dengan mata berbinar. “Tapi, aku merasa betah di sini. Liburan juga masihlah panjang. Barangkali aku akan menambah beberapa hari lagi di sini,” katamu tersenyum membawaku ke tanah harapan.
“Kalau masih ada waktu, kau boleh mampir ke tempatku. Tidak jauh di timur sana.”
“Hem…?!”
“Lima kilometer dari sini. Tapi, mungkin kau tak tahan di sana. Bau amis akan menusuk-nusuk hidungmu.”
“O, ya?!” katamu disertai tawa. Aku senang mendengar cucuran tawamu. Seperti derai hujan yang membawa berkah. Kesuburan menumbuhkan benih di dadaku.
“Pasar dan tempat pelelangan ikan. Paling sibuk di sini.”
“Pantas saja. Ikan nus ada?”
“Tentu. Aku bisa mengantar kalau kau mau.”
Kau diam dan tersenyum. Ah, Sayang. Matamu. Tajam dan menawan. Seperti mengobrak-abrik bungker dalam dadaku. Membuatku menunduk menutupi rahasia.
“Kalau sudah di sana, kau harus membelinya dariku.”
“Ya?! Kau punya stand di sana?”
“Milik kakek. Tapi, kini aku yang mengelolanya. Dia telah meninggal setahun yang lalu.” Tiba-tiba kau diam berdukacita.
Sudah, Sayang. Jangan sinar matamu meredup tertutup lapisan airmata. Senyumlah. Biarkan saja. Tak perlu bersedih dengan kematian. Sebab kematian juga merupakan bagian dari dunia.
“Di sana sekarang ini masih ramai.”
“Ya?! Tapi, kau …?”
“Refreshing. Aku sudah mempercayakan kepada salah seorang pekerja untuk menggantikan pekerjaanku sementara.”
Kau mengiyakan kepala. Terasa dagumu yang lancip menghujam memberi bekas di benakku.
“Sesuatu yang menjadi kebiasaan akan memberikan kebosanan. Dan menurutku, kita tidak perlu meninggalkan begitu saja untuk seterusnya. Cukup refreshing.”
“Jadi, sekarang ini kita sedang mengelak dari kebosa-nan?”