Waktu; di pesisir utara

Syauqi Sumbawi
Chapter #2

Fragmen 2

Apakah kau memperhatikan arloji perak yang melingkar di lengan kirimu itu, Sayang?! Pukul berapa waktu yang tercatat di sana sekarang?! Atau, mungkinkah arloji perakmu itu menjadi rusak sebab tercelup air laut dan membikin jarum-jarumnya terlambat menghitung waktu?! O, bukankah di sana juga waktu telah menunjukkan pukul sembilan tiga puluh, seperti yang juga tercatat di arloji tua pemberian kakek sebagai hadiah kelulusanku dari bangku SMA tiga tahun yang lalu.

Tak henti-henti aku mengoreksi perjalanan waktu pada arloji itu di sini. Di tempat yang seharusnya kita telah bersama setengah jam yang lalu. Ketika waktu mencatatkan pukul sembilan pagi.

Barangkali juga kau harus menyelesaikan sesuatu terlebih dulu, sehingga menjadikan terlambat datang menepati waktu yang telah kita sepakati. Memang, begitulah manusia. Tak kuasa mengelak dari masalah-masalah yang datang dengan tiba-tiba. Tiap-tiap hari berjalan dengan masalah-masalah yang menyertai.

Tapi, mungkinkah sebetulnya sekarang ini malah belum saatnya kita bertemu di sini?! Belum pukul sembilan pagi?! Jangan-jangan arloji di lenganku ini yang rusak. Menjadi terburu-buru dan tak tepat dalam waktu oleh pengaruh hasratku yang tak sabar berjumpa denganmu.

Ah, dalam hati aku jadi tertawa sendiri. Menggelikan, bukan?! Namun kalau kau tahu, itulah kasus yang terjadi pada jam yang menggantung di dinding kamarku. Perputarannya lebih cepat dari rotasi bumi yang menjadi pedoman waktu yang dikejarnya. Tak sesuai dengan hitungan detik yang telah dirumuskan oleh penemu jam pada jaman dahulu yang terus digunakan hingga sekarang. Kalau begitu, tentu saja hal itu merupakan sebuah penyimpangan. Dan aku berkesimpulan bahwa pembuat jam dinding itulah yang tidak tepat dengan hasil kerjanya. Menjadi kurang teliti demi mengejar target produksi. Lantas, bagaimana bisa dia menjual produk yang tak terpakai?!

Yah. Baiklah, Sayang. Aku tidak akan menyalahkanmu. Manusia, seperti diriku tidak pantas untuk gampang menyalahkan. Maka, bila seperti itu, hidup ini akan banyak tersita dengan perbuatan saling menyalahkan di antara sesama manusia. Karena pada dasarnya, siapakah yang berbuat salah dan dosa?! Siapa yang mesti bertanggungjawab di hari kemudian?! Kalau kita tidak mau menanggungnya, maka tidak layak disebut manusia. Tetapi menjadi bebek, ayam, anjing, batu, pohon, lumpur, dan benda mati lain yang ada di bumi. Sementara Tuhan maha penerima taubat, pem-beri rahmat, dan pintu ampunan-Nya senantiasa terbuka.

Aku akan bersabar menunggu, Sayang. Begitulah, aku menyadari bahwa kesabaran adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi kebahagiaan?! Di samping itu, sungguh, saat ini hatiku penuh dengan kasih. Kalau saja hidup ini diliputi perasaan semacam ini, maka dunia menjadi tempat hidup yang damai. Akan tetapi, tidak seperti itu. Malaikat di surga pun tahu tentang siapakah manusia, kita ini sebenarnya, hingga sempat memprotes Tuhan yang hendak mengirim Adam dan Hawa yang beranak-pinak ke bumi. Menjadi pengatur kehidupan yang ada di sini. Malaikat tidak yakin manusia dengan janji kesanggupannya akan bisa mengemban amanat di bumi. Malah khawatir dan resah dengan sifat manusia yang kemungkinan besar akan saling bermusuhan, berbunuhan, dan membabi-buta dalam berbuat kerusakan. Akan tetapi, Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kau tahu, sayang?! Dalam usaha untuk terus bersabar, aku teringat pada selembar kertas sobekan majalah yang menjadi pembungkus tape ketan merah yang kunikmati di sebuah warung kopi dekat stand-ku di kawasan pasar ikan. Di situ tertulis kisah tentang seorang laki-laki tiga puluhan tahun yang hidup di masa lalu. Setelah bertahun-tahun hidup berkelana dan sebatangkara, dia kemudian memutus-kan untuk tinggal dan hidup sebagai penjaga masjid di suatu perkampungan yang disinggahinya, seperti yang diharapkan oleh laki-laki setengahbaya yang menjadi imam masjid. Ia bertempat di sebuah gubuk di sebelah masjid, dan setiap hari bekerja mengurusi masjid; membersihkan, menyiapkan air untuk wudlu, dan melantunkan adzan saat tiba waktu sembahyang. Dan setiap hari pula ia mendapat kiriman makanan dari si imam masjid.

Suatu masa, imam masjid bepergian ke luar kota selama beberapa hari bersama keluarganya. Dan itu artinya, tidak ada yang akan mengirim makanan untuk penjaga masjid selama itu. Dalam keadaan seperti itu, penjaga masjid mencoba untuk bersabar dengan lapar. Tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Berpuasa dengan hanya meminum air untuk wudlu dan buah pohon jambu yang belum benar-benar matang yang tumbuh di sekitar gubuknya sebagai hidangan buka puasa. Ia mengikatkan kain di pinggangnya, meredam bunyi yang kerap bergemerucuk di perutnya menandakan lapar yang sangat. Dan karena sedikit sekali kemasukan makanan, pencernaan di tubuh penjaga masjid menjadi terganggu. Sampai-sampai mengakibatkan dirinya susah untuk berak. Dan ketika berhasil, beraknya serupa adonan kecil dan berwarna hitam, mirip petis. Seperti beraknya seorang bayi yang berak pertama kali. Ia kerap merasakan mules pada perutnya, sebab kentut yang sulit menguap.

Maka, saatnya pun tiba. Terbersit di pikirannya untuk mendapatkan makanan yang selayaknya. Ketika hari berada di pertengahan waktu dhuha, ia mencoba menyelinap ke satu persatu rumah penduduk kampung. Hingga ia menemukan satu rumah dalam keadaannya yang sepi dengan pintu belakang tak terkunci. Perlahan ia berjalan mengendap-endap sembari mengawasi keadaan sekitar. Berharap akan mendapatkan makanan untuk mengisi perutnya yang menderita. 

Di sebuah meja makan, ia menemukan kemarang, wadah yang penuh makanan. Dengan perasaan tak tenang, ia kemudian menciduk makanan dan menaruhnya ke piring yang ada di atas meja.

Sejenak ia terdiam. Cukup lama. Dalam hatinya berkecamuk percekcokan sengit tentang apa yang dilakukannya. Lantas seperti tersentak, ia seketika mengaburkan diri selepas mendengar suara yang mengabarkan kedatangan.

Seorang perempuan dua puluh tujuh tahunan, memasuki rumah. Ia seorang janda kaya yang telah beberapa tahun ditinggal mati suaminya, hidup sendiri tanpa seorang anak. Saat tiba di meja makan, ia bertanya-tanya tentang piring yang terisi makanan yang ada di sana. Sementara penjaga masjid, setelah berhasil meloloskan diri, ia bersujud dan memperbanyak istighfar.

Keesokan harinya, ia kembali mendapatkan kiriman makanan yang beberapa hari ini tertunda kedatangannya. Imam masjid telah pulang dari bepergiannya ke luar kota bersama keluarganya.  

Suatu hari selepas sembahyang, imam masjid ditemui seorang laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang telah cukup tua itu mengutarakan maksud kedatangannya. Sebagai seorang paman, sekaligus wali dari perempuan yang datang bersamanya, ia minta tolong kepada imam masjid untuk mencarikan suami bagi keponakannya itu.

Bapak sendiri mengetahui, keponakan saya ini hidup sendiri. Sebab itu, dengan keberadaan seorang suami di sisinya, itu sama saja ada seseorang yang akan menjaga dirinya, begitu kata si paman.

Imam masjid kemudian memanggil si penjaga masjid. Mengatakan maksud kedatangan kedua tamunya tersebut dan memperkenalkan dirinya kepada mereka. Kemudian di-lanjutkan dengan pembicaraan tentang rencana pernikahan.

Beberapa hari kemudian, perempuan dan penjaga masjid itu pun menikah. Ketika pertama kali tiba di rumah istrinya untuk tinggal bersama di sana, penjaga masjid pun tersentak ketika tahu bahwa rumah itulah yang pernah dimasukinya untuk mencuri makanan saat kelaparan dulu. Dan kini, ia tidak hanya mendapatkan makanan dengan jalan yang benar, melainkan juga telah mendapatkan seorang istri yang cantik, kaya, dan penuh cinta. 

Lihat selengkapnya