Seperti pagi-pagi yang telah lalu, pagi ini matahari beranjak dan masih bersinar lagi. Begitulah, matahari tetap setia. Tidak berubah menjadi batu besar yang mati, kehilangan cahayanya. Dan seperti juga beberapa hari sebelumnya, aku pun masih menunggu dirimu di sini, di lokasi wisata pesisir utara pulau Jawa. Langit bersih dan cerah, tidak seperti perasaanku yang terselimut resah. Angin berhembus segar, tidak pula seperti dadaku yang gelisah. Ah, bodoh. Kenapa masih saja aku menunggu dirimu di sini, meskipun kau tak juga-juga datang menepati janji dan memenuhi rinduku, yang menjadikan aku meragukan tentang kebersamaan kita?!
Namun, entahlah. Setiap kali melihat para pengunjung berdatangan, mendengar deru-deru kendaraan yang melaju dan mendekat, aku seperti merasakan kehadiranmu bersama mereka. Berkelebat sembari menyeru diriku dari kejauhan.
Datanglah, Sayang. Pagi ini sungguh ramai para pengunjung di sini. Maklumlah, hari ini adalah hari terakhir tempat wisata yang murah dan meriah ini dibuka untuk umum. Selanjutnya menurut rencana, di sini akan dibangun beach resort, yang tak sembarang orang bisa menikmatinya. Butuh biaya yang cukup banyak untuk merasakan fasilitas, pelayanan, dan juga bermain di sekitar tiga batukarang yang menjulang menyerupai katak itu.
Apakah kemarin lalu kau memperhatikan bangunan besar bertingkat yang halamannya masih terpagar oleh lapisan seng tak jauh di sebelah timur sana?! Itulah tempat wisata baru yang akan menggantikannya. Dan berbeda dengan tempat wisata ini yang mengandalkan wisata pemandangan laut; kebersamaan berciprat-cipratan air, berbasah-basahan sembari menangkap ikan di sela-sela batukarang, perahu wisata, berkumpul dan bernyanyi bersama diiringi bunyi gitar, di sana tersedia fasilitas wisata yang cukup lengkap selain pemandangan laut; permainan elektrik, kebun binatang dengan koleksinya yang cukup menawan, dan sebagainya. Tentu saja seperti itu, karena tiketnya lebih mahal sepuluh kali lipat dari tempat wisata ini. Dan rencananya, beberapa hari ke depan akan mulai dioperasi-kan. Begitulah informasi yang kudapatkan dari poster yang tertempel di dinding warung kopi di pasar ikan.
Pernah suatu ketika aku melihatnya dari tanah yang cukup tinggi. Aku berpikir, setiap mata yang memandang akan tercengang dengan keberadaannya yang megah, berkilau, dan angkuh berdiri sendirian di tepi laut. Dan bila memperhatikan sebagian besar orang yang berdatangan di sini pagi ini, mengunjungi tempat wisata yang tidak akan bisa mereka kunjungi lagi setelah hari ini, sungguh aku meragukan bahwa mereka akan menikmati tempat wisata baru di sebelah timur itu. Barangkali mereka akan mengurungkan hasratnya untuk berekreasi, karena lebih meng-eman uang yang begitu susah didapatkan. Kalaupun mereka—yang berasal dari daerah puluhan kilometer di selatan sana—ingin meluluskan hasrat melihat laut, barangkali sebelum berang-kat ke sini, mereka sudah memaklumi keinginannya yang terbatas itu. Juga keberadaannya yang hanya mampu melihat tempat wisata itu di depan pintu masuk, karena uang yang tak cukup. Syukurlah, sekitar lima puluh kilometer di sebelah selatan sana terdapat tempat wisata berupa waduk yang cukup luas dan indah. Di samping murah, waduk itu bisa menjadi tempat untuk keluar dari pengapnya keseharian yang membikin bosan.
Yah. Waktu dan perubahan begitu cepat terjadi dan tak terelakkan. Kalau zaman dulu sistem ekonomi masyarakat begitu sederhana—bekerja memenuhi kebutuhan harian saja, sekarang telah berubah menjadi ekonomi kapitalis. Benar. Siapa pula orang yang tak ingin menjadi kaya dan berkuasa?! Dan kalau dulu, manusia membikin senjata tajam untuk berburu, menjaga diri dari serangan binatang buas, atau untuk keperluan menebang kayu dan kebutuhan harian yang lain, maka hari ini manusia telah mahir dan piawai membikin senjata-senjata berat dan penghancur massal. Negara-negara kuat dan merasa adidaya berlomba-lomba mempercanggih persenjataannya dan memperbesar daya kekuatan militernya. Bahkan mengaku-ngaku pula sebagai penjaga perdamaian dan penegak keadilan di dunia untuk melakukan invasi besar-besaran ke negara lain dengan dalih perjuangan melawan terorisme.
Entahlah. Bagiku, sesuatu yang tulus tidak akan pernah lahir dan hidup dari niat yang busuk.
Lepas dari itu, menurutku apa yang ada di dunia ini saling berpasangan. Ada siang dan malam supaya manusia mengetahui kapan saat mereka bekerja dan beristirahat. Ada min dan plus untuk menjadi energi listrik dan elektro-magnetik untuk diambil manfaat oleh manusia bagi kehidupannya. Ada laki-laki dan perempuan guna membina kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, dan melahirkan keturunan. Ada yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah agar kehidupan berjalan dengan limpahan kasih sayang. Ada penguasa dan rakyat, biar kehidupan bermasyarakat menjadi teratur, terkendali, dan damai. Namun, yang kerap terjadi malah sebaliknya, yang menjadikan aku menganggap bahwa idealisme hanya ber-kesempatan hidup di ranah wacana dan teori.
Apakah kau akan datang menjumpaiku yang menunggu-mu di sini, Sayang?! Menjadikan masing-masing kita untuk berpasangan dalam kebersamaan?!
Beberapa hari ini ketika matahari semakin miring ke barat, aku pun beranjak dari sini. Menyusuri tiap-tiap persimpangan, berharap menjumpai jejak-jejak yang dapat mengantarkan aku menemukan dirimu. Ternyata, nihil. Kecuali kelebatan-kelebatan dirimu di sekian banyak rumah yang kusangka menjadi tempat tinggalmu selama singgah di kota ini. Lantas, di mana kau sebenarnya, Sayang?! Tak terjawab pasti, kecuali hanya prasangka. Apakah masih di kota ini atau telah kembali ke Sumatera?!
Selama itu pula, aku berharap kau datang ke pasar ikan; dengan tiba-tiba telah berdiri di hadapanku bersama mekar wajahmu, sembari memilih ikan nus yang paling segar, yang membuatku terpasak tak menyangka. Atau, aku berharap salah seorang tetangga mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang perempuan cantik—kau—menunggu di depan rumah peninggalan kakek, dan ingin menemuiku. Ah, kalau memang demikian.
Seperti juga pagi-pagi sebelumnya, jam sembilan kurang aku telah menunggumu di sini. Tentunya kini waktu telah menunjuk jam sembilan, seperti juga jadwal saat dimulainya acara live show musik dangdut, memeriahkan hari terakhir para pengunjung menikmati tempat wisata ini. Terdengar suara musik menyeruak di udara, memasuki lubang telinga, dan memanggil para pengunjung untuk bergegas mendekat —para laki-laki muda dan bergairah berlari-lari kecil berebut tempat di depan panggung—. Rupanya, tidak. Arloji pem-berian kakek malah menunjukkan pukul setengah sepuluh.
Yah. Begitulah. Rencana dan jadwal kerap terlambat di sini, menjadi biasa dan mentradisi; jam karet, molor—tidak hanya di panggung hiburan dangdut saja, tetapi juga pada pengiriman stock premium, kedatangan kereta api, dan sebagainya. Apalagi jika rapat, sungguh penyakit lama—. Maka, terkesan lumrah. Maklumlah, waktu bergerak dalam kestabilan. Sementara manusia dengan masalah-masalah yang datang mendera, tak cukup mampu mengejar waktu. Bahkan manusia kalah dengan oleh jarum jam yang dibikinnya, yang berhasil menangkap waktu lebih lama dari pembuatnya. Sungguh, sebuah ironi.
Ah, benar. Kenapa juga hal itu dipermasalahkan. Tepat waktu atau molor setengah jam tidak menjadi masalah. Akhirnya, bukankah yang penting kita bisa bersenang-senang. Seperti para pengunjung yang telah beriak bersama hentakan gendang koplo yang terdengar rancak itu. Sekujur tubuhnya bergoyang dengan lepasnya. Barangkali seperti itu pula terlepasnya semua masalah saat tubuh kita bergoyang. Begitu ringan.
Saat musik pembuka usai, digantikan MC yang berteriak-teriak membakar suasana menjadi meriah, aku beranjak pergi mencari tempat. Dalam perjalanan, beberapa kali aku sempat melihat kau kembali berkelebat di antara para pengunjung yang berdiri agak jauh di depan panggung. Di antara para perempuan. Sebentar aku duduk di atas batukarang, menonton panggung dari kejauhan.
“… yuk, sama-sama kita sambut,… Tarjeta Armelia…” kata MC yang membuatku terpasak, terus mengawasi seorang perempuan dengan kostum khas seorang penyanyi dangdut yang segera muncul ke atas panggung, menyapa pengunjung dengan suara yang digenitkannya. Terkesan menggoda. Dan ketika musik perlahan mengalir, ia pun mulai bergoyang pinggul mengikuti gendang koplo yang mendetak rancak.
Benarkah, dia?! Aku teringat pada perempuan gembrot, ingusan, dan tingkah lakunya yang begitu menggelikan yang membuat aku benci karena ia yang ingin menjadi pacarku saat SMP dulu. Lia Wijayanti, seperti yang kerap dibicarakan teman-teman telah berubah menjadi Tarjeta Armelia yang cantik dan menggoda.
Ah, Lia… kalau saja dulu aku tahu bahwa kau akan berubah menjadi perempuan cantik seperti ini, pasti aku mau menjadi pacarmu. Meskipun dulu kau gembrot, ingusan, dan begitu menggelikan.
Yah. Tentu saja tidak. Konyol. Dalam diam aku menya-dari bahwa inilah keajaiban waktu. Menyesal sekarang, tentu sudah ketinggalan zaman. Malah hanya akan melahirkan kekecewaan.
Tidak, Sayang. Ini hanya sebuah pengalihan dari perasa-an yang mendera di dadaku untuk berjumpa denganmu. Kenapa kau tak datang dan menepati janji?!