Menyertai kehilangan dirimu, sungguh, terasa asing hidup dengan udara yang biasa kuhirup ini; keseharian yang ada sebelum berjumpa denganmu. Seperti juga keseharian yang begitu asing ketika bersamamu; waktu menyertakan dirimu di keseharianku.
Demikianlah. Tersebab manusia tak bisa melepaskan diri dari jalinan waktu. Karena kita bergerak dan terus bergerak, maka waktu pun menyertainya. Terciptalah masa, usia, sejarah. Dan itu pun berarti, manusia hidup dalam waktu; masa lalu, sekarang, dan cita-cita. Lantas, karena sesuatu yang terdapat pada diri kita terbatas, waktu untuk kita pun terbatas di sini; mati.
Tentu saja, manusia tidak bisa mengelak dengan apa yang muncul dari dirinya yang teruntai bersama waktu; hidup, yaitu masalah yang berbaris-baris dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dan menurutku, yang terutama di sini barangkali adalah bagaimana kita menjadikan apa yang terjadi, selaras dengan kehidupan?!
Baru saja datang malam menggelar dirinya. Di jalanan samping rumah, deru kendaraan angkut yang melintas membawa sisa-sisa keramaian pasar ikan. Sebuah jam tua yang menggantung di dinding ruang tamu rumah peninggalan kakek menunjukkan pukul tujuh lebih beberapa menit. Ketika duduk-duduk melepaskan penat dari pekerjaan di pasar ikan, Lik Kusnan datang menemuiku. Ia adalah orang kepercayaan kakek semasa hidupnya dulu. Dan aku juga mempercayainya. Tidak hanya dalam hal pekerjaan di pasar ikan, tetapi juga masalah-masalah lainnya. Meskipun kami tak ada hubungan keluarga, ia telah kuanggap sebagai pamanku sendiri.
“Apakah kamu sudah bertemu dengannya?” katanya setelah duduk dan menyulut sebatang rokok.
“Siapa?” kataku penasaran.
“Benar kamu belum tahu?” Aku menggeleng dan semakin penasaran.
“Kemarin aku melihatnya turun di pasar kecamatan. Dan, sepertinya ia telah kembali.”
“Siapa, Lik?” Ia diam menatapku sejenak.
“Bapakmu.”
Aku tersentak. Kenyataan ini membangkitkan masa lalu di hadapanku. Menelanjangi keseharian yang membuat kami melupakannya begitu saja, seperti seorang anggota keluarga yang telah mati yang telah direlakan kepergiannya dan tak diharapkan kembalinya untuk selamanya. Akan tetapi, ia masih hidup. Kini, ia telah kembali di sini. Entah, untuk apa.
Lik Kusnan pamit pergi. Hendak ke warung. Katanya, kepalanya terasa berat dan pening. Belum minum kopi. Begitulah keadaan yang telah tercandu.
Dalam diam seorang diri, aku kembali membuka-buka kalender usang hari-hari yang lalu. Kuraup sepai-sepai ingatan. Dirinya tergambar samar.
Sudah lama sekali. Sebelas tahun. Mulanya, aku hanya tahu bahwa ia tidak ada di rumah beberapa hari. Seperti biasanya, ia memang jarang pulang. Entah, ke mana?! Namun sejalan pergerakan waktu, aku pun jadi mengerti. Rupanya, ia memutuskan pergi bersama perempuan lain. Meninggalkan begitu saja seorang istri dan seorang anak sepuluh tahun yang membutuhkan kasih sayang, perlin-dungan, dan panutan.
Dan karena kepergiannya itulah, ibu dan aku kemudian pindah dari rumah keluarga suaminya ke rumah kakek, bapak kandungnya.
Meskipun di hadapanku ibu menampakkan ketegarannya seperti batukarang diterpa angin dan gelombang atas apa yang terjadi, namun aku tahu bahwa dirinya berubah sejak saat itu. Ia menjadi seorang yang pendiam, pemurung, dan jarang keluar rumah. Kerap aku menemukan dirinya termenung dengan dagu bertumpu pada lengannya di jendela, matanya menerawang ke jalan dengan mimik wajah yang menampakkan sebuah penyesalan yang dalam. Dan ketika aku perlahan-lahan mendekat kepadanya, maka ia berusaha memekarkan senyumnya, meski terasa kaku di mataku.
“Tak perlu bersedih, sayang. Anakku lanang. Ibu di sini akan selalu menemanimu. Merawatmu.” Begitu katanya seraya mengusap kepalaku dan merapikan rambutku. Pada saat seperti itu, dalam hati aku berkata: sudahlah, ibu. Anakmu lanang ini yang akan selalu menjaga ibu. Merawat ibu. Membahagiakan ibu.
Akan tetapi setelah aku pergi darinya, ibu kembali terlarut pada kesedihannya.
Pernah suatu kali aku mendadak terbangun di tengah malam dan menemukan ibu duduk dalam remang di depan jendela menghadap ke jalan. Diam-diam kuperhatikan ibu terisak dalam tangis seraya menggumam sendiri. Aku tak tega melihatnya seperti itu.
Lantas aku pun mengerti. Rupanya selama ini ia menya-lahkan diri sendiri. Ia menganggap bahwa kepergian seorang suami—karena tergoda perempuan lain—adalah kesalahan seorang istri. Sayangnya, ibu sangat mencintainya dan masih mengharapkan hidup bersama dengannya meskipun penga-dilan agama telah mengesahkan perceraian mereka, yang menjadikan berat penderitaan di hatinya.
Syukurlah, hal itu tak berlangsung lama. Beberapa waktu berselang, ibu telah kembali dengan dirinya sendiri. Menyapa kehidupan selanjutnya dengan ramah. Dan sejak menyandang status janda, ia menjadi lebih banyak bergerak daripada biasanya. Ia seperti tengah menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya seorang ibu, tetapi juga seorang bapak. Ia bisa berperan untuk itu. Membantu bekerja di stand ikan milik kakek. Dan karena kemampuan serta kerja kerasnya, pengelolaan segala sesuatunya kemudian diserahkan kakek kepadanya.
Meskipun berstatus janda tiga puluhan tahun dan beranak satu, ibu seorang perempuan yang ramah dan cantik. Barangkali sebab itulah beberapa orang laki-laki —baik duda, jejaka, maupun yang telah beristri— datang kepada kakek. Ingin menjadikan ibu sebagai seorang istri. Namun, entah apa yang menjadi alasan yang sebenarnya, ibu selalu menjawab: tidak, ketika kakek menanyakan hal itu kepadanya. Ia belum memikirkan untuk menikah lagi. Dan ia juga berpendapat bahwa tanpa seorang laki-laki di sampingnya, selama ini ia pun masih mampu membesarkan diriku. Menjadi seorang ibu, sekaligus seorang bapak. Akhirnya kakek menerima jawaban ibu, meskipun dengan berat hati.
Untuk sementara waktu, segala sesuatunya berjalan lancar. Baik urusannya sebagai seorang ibu di rumah maupun pekerjaannya di pasar ikan. Sampai akhirnya kakek merasa gerah dan meminta ibu untuk memikirkan sekali lagi dan menasehatkan untuk menikah kembali. Kakek tak tega dengan keadaan ibu. Tidak hanya berperan ganda, tapi juga tentang beredarnya kabar burung mengenai ibu berkaitan dengan para laki-laki yang mendekati dirinya.
“Bapak percaya bahwa kamu akan kuat dengan apa yang terjadi. Akan tetapi, akan tidak baik jadinya kalau hal itu akan terus-menerus menimpa dirimu, Nduk. Kamu tahu, ini bukan hanya menjadi masalahmu sendiri, tapi juga menyangkut anakmu.”
“Apa bapak terganggu dengan apa yang terjadi?”
“Bagi bapak, kebahagiaanmu adalah kebahagiaan bapak. Dan segala keputusan, bapak serahkan kepadamu. Di samping itu, bapak pun masih punya kewajiban kepadamu. Mencarikan jodoh dan menikahkanmu,” kata kakek. “Apa kamu trauma dengan pernikahanmu terdahulu?”
“Itu sudah lama berlalu, bapak. Masa lalu.”
“Syukurlah, kalau begitu. Namun, apakah kamu tidak ingin menikah lagi?" Ibu hanya diam.