Waktu; di pesisir utara

Syauqi Sumbawi
Chapter #5

Fragmen 5

Separuh lebih dari usiaku sekarang ini. Perjalanan waktu menjadikan aku terbiasa karenanya. Menjadikan lidahku kaku untuk mengucapkan kata itu, seiring dengan keberadaan dirinya yang acuh tak acuh meninggalkan diriku.

Laiknya seorang anak kecil yang belajar mengenali huruf, membunyikannya, membacanya, lantas menjadi tahu tentang apa yang dimaksudkannya dari kata itu; ‘b-a-p-a-k’. Sungguh, begitu asing, jauh, dan tak terjangkau pada diriku.

Demikianlah. Kata itu seperti kehilangan artinya dalam kehidupan seorang anak. Tak terbaca. Menjadi suram oleh waktu dan tak juga kutemukan itu pada dirinya, meskipun ingatan-ingatan kecil terus berkelebat dan memberi tanda akan keberadaannya. Walaupun darahnya ikut mengalir bersama darah di tubuhku. Ia telah lama mati di hadapanku.

Syukurlah. Sejak kehilangan dirinya, aku hidup bersama orang-orang yang bisa memberikan apa yang aku butuhkan. Mereka menyayangiku dan memberi perhatian yang besar kepadaku yang beranjak tumbuh. Mengenalkan dan memberikan kendali pada jalur nilai, norma, dan teladan. Hingga sampai suatu masa seseorang dianggap mampu untuk berperilaku yang semestinya dan tidak meresahkan.

Aku tahu, dalam sebuah keluarga, ibu dan bapak adalah dua buah pilar bagi kehidupan seorang anak. Tentu saja kalau salah satu dari mereka hilang, lebih-lebih bila kedua-nya tidak ada, maka anak harus mendapatkannya. Entah, darimana saja. Dan jika ia belum mendapatkannya, berarti ia akan mencari dan terus mencari. Aku tak tahu, di mana saja.

Yah. Ibu, kakek, dan Lik Kusnan selalu ada di dekatku dan memberikannya untukku. Kalau saja tidak ada mereka, mungkin akan tidak seperti ini jadinya.     

Tiba-tiba aku teringat seorang teman waktu SMP dulu. Dia tinggal di sebuah desa, lebih kurang sepuluh kilometer di selatan sana. Kisah hidupnya tak seberuntung diriku. Sebut saja; Dara, namanya. 

***

Perlahan diikutinya langkah laki-laki itu memasuki perkebunan jati. Suasana lengang di antara kicau burung dan raung knalpot kendaraan di kejauhan. Sejenak diperhatikannya kanan-kiri. Ke jalanan di belakang. Kemudian pindah kepada laki-laki itu.

Gerak tubuh laki-laki itu begitu lemah seakan tak mengeluarkan banyak tenaga. Dan tanpa membuang kesempatan, diayunkannya pisau menikam punggung laki-laki itu.

Laki-laki itu terhuyung-huyung. Darah membasah di punggungnya. Lantas roboh meregang nyawa. Buru-buru diseretnya tubuh laki-laki itu ke balik semak-semak.

Sebentar ada dua orang laki-laki di depannya. Keduanya terbujur kaku tanpa nyawa. Dipandanginya satu-persatu. Pertama, telanjang. Meskipun sudah berupa mayat, wajahnya masih menampakkan keangkuhan. Dia yang pertama kali dihabisinya. Entah, siapa dia sebenarnya. Yang diketahuinya, pada waktu hidup-nya dia dipanggil Juragan Gito.

Kedua, berpakaian utuh. Namun, baju dan celananya sudah usang. Terdapat tambalan di sana-sini. Dan wajahnya terlihat menimbulkan rasa kasihan. Dara cukup kenal dengannya. Maklumlah, sudah tujuh belas tahun ini Dara hidup bersama dirinya. Dia suami Emak Dara yang sudah meninggal dunia sejak Dara berumur dua belas tahun. Rebo, namanya.

Dulu, sewaktu Emak Dara masih hidup, Rebo tidak seperti itu. Wajahnya bergairah. Penuh semangat. Selain itu, dia termasuk warga desa yang kaya. Dan mereka sekeluarga hidup dengan bahagia. Sampai akhirnya Emak Dara jatuh sakit lantas mening-gal dunia. Entah, apa sebenarnya penyakit Emak Dara. Kata Makde Sumi tetangga mereka, Emak Dara ditenung orang. Tenung yang sangat jahat, katanya. Beberapa dukun didatangi Rebo. Namun, mereka tak mampu mengusirnya. Sementara untuk mengusaha-kan kesembuhan Emak Dara, Rebo harus kehilangan sebagian besar harta bendanya. Dan sejak Emak Dara meninggal dunia, praktis bisa dikatakan hampir tiap hari Rebo hanya tinggal di rumah. Dia menjadi pemurung.

Suatu hari, Rebo menjual rumah mereka. Juga beberapa petak sawah. Ternyata Rebo mempunyai hutang. Maklumlah, meskipun menganggur, dia masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Akhirnya Rebo mengajak Dara pindah ke tanah satu-satunya miliknya yang tersisa di pinggiran desa. Di sana, Rebo membangun pondok kecil dengan uang sisa setelah membayar hutang-hutangnya. Saat itu, Dara duduk di kelas satu SMP. Dan karena kekurangan biaya, Dara harus putus sekolah.

Rebo masih belum berubah. Masih hanya tinggal di rumah. Juga masih pemurung. Namun begitu, ada kegiatan yang dilakukannya. Bercocok tanam di pekarangan kanan-kiri rumah. Barangkali hal ini disebabkan oleh keberadaan Dara yang bekerja membantu Makde Sumi di sawah. Maka, dia pun merasa tak selayaknya berdiam diri saja.

Suatu pagi, tiba-tiba Rebo mengajak Dara pergi ke pasar. Kebetulan Dara tidak membantu Makde Sumi di sawah. Mereka baru saja panen dan harus menunggu beberapa waktu sampai waktu tanam tiba. Dara senang sekali. Baru kali ini Dara pergi ke pasar lagi sejak kematian Emak. Apalagi saat itu, sebentar lagi lebaran. Dara membayangkan bahwa Rebo akan membelikan baju baru yang selama beberapa lebaran kemarin tak pernah didapatkannya.

Memang baju baru didapatkan Dara. Namun setelah beberapa hari harus duduk di pasar menemani Rebo menadahkan tangan. Tentu saja Dara merasa malu. Barangkali juga Rebo. Siapa yang sebenarnya tidak malu harus duduk menadahkan tangan di hadapan orang-orang. Mengemis. Namun, hal itu diabaikan saja oleh Dara setelah melihat wajah Rebo yang menimbulkan rasa kasihan. Karena bagaimana-pun dia adalah bapak Dara. Dan barangkali juga Dara yang lugu. Lebih-lebih pagi itu, ketika salah seorang teman laki-laki sewaktu SMP dulu melihat Dara bersama Rebo mengemis. Laki-laki yang dulu kerap menggoda Dara di sekolah. Kata beberapa teman, laki-laki itu menyukai Dara. Namun sampai Dara putus sekolah, laki-laki itu tak pernah mengungkapkan perasaannya kepada Dara.

Sungguh malu sekali Dara waktu itu. Saking malunya, Dara selalu menyingkur dari tatapan laki-laki itu. Entah, apa yang ada di pikiran laki-laki itu?! Tapi, Dara kemudian tak mempedulikannya. Karena memang beginilah nasib hidupnya. Tak lama berlalu, dengan ekor matanya, Dara tahu bahwa laki-laki itu sudah pergi.

***

Sudah beberapa bulan Dara menemani Rebo mengemis di pasar. Dara sudah tidak lagi bekerja membantu Makde Sumi bekerja di sawah pada saat musim tanam tiba beberapa waktu yang lalu. Dan sejak menemani Rebo, Dara tak pernah lagi bermain ke rumah Makde Sumi. Apalagi ke rumah tetangga yang lain. Di samping tidak ada waktu kecuali malam hari, Dara juga malu bertemu mereka. Apalagi penduduk desa tidak ada yang tidak tahu apa yang dilakukan Rebo dan Dara di pasar. Meskipun begitu, Makde Sumi masih baik kepada Dara. Ia kerap menyuruh salah seorang anaknya ke rumah mereka dengan membawa jajanan dan pesan darinya agar Dara main ke rumahnya. Namun, Dara tak pernah ke sana.

***

Lihat selengkapnya