Benar. Aku tak bisa mengelaknya. Meskipun malam itu, di hari terakhir tempat wisata di sebelah barat sana dibuka untuk umum, di mana aku terakhir kali mengharapkan kehadiranmu. Di pantai, di bawah taburan bintang-bintang dan rembulan yang seperti melayang, aku menyatakan akan menghapus semua ingatan tentang dirimu bersamaan fajar menggurat jingga cakrawala di keesokan harinya. Juga, meskipun aku telah berusaha keras untuk menahannya. Menyumbat pikiran tentang dirimu yang terus mengalun seperti ombak membasahi bibir pantai dengan hiruk-pikuk sesuatu yang lain. Tetap saja. Sepai-sepai ingatan tentang dirimu masih kerap meletup-letup dalam keseharianku.
Seperti sebuah janji yang menuntut untuk ditepati, terkadang aku masih mengharapkan kehadiranmu di hadapanku. Mengharapkan kebersamaan kita yang melahirkan bahagia. Sampai kapankah?! Barangkali sampai kau datang dengan tiba-tiba di suatu waktu yang entah dan menepati janji kedatanganmu yang sempat tertunda. Namun setelah teringat hari-hari aku menunggu dirimu hingga tempat wisata itu ditutup, digantikan dengan beach resort, dan memaksaku untuk mengakhiri penantianku, sepertinya aku harus berusaha keras menepis kehadiranmu dalam pikiranku. Menghapus akan kebahagiaan yang tercipta dari kebersamaan kita.
Yah. Ketika tersadar dari ingatan tentangmu, nyatalah bahwa kau semakin jauh. Kian tak terjangkau dalam raihan tanganku, menjadi pudar bayangan kebahagiaan yang akan tercipta dari kebersamaan kita. Dan semuanya memaksaku untuk membunuhmu. Berkali-kali. Di setiap kau meletup di pikiranku. Juga pagi ini, di stand ikan peninggalan kakek.
Kutatap langkah Pak Khozin yang menjauh lantas menghilang di belokan. Ia baru saja datang menemuiku. Seperti waktu-waktu sebelumnya, ia kembali mengingatkan aku pada rencananya. Menjodohkan aku dengan salah satu cucunya. Indah, begitu Pak Khozin memanggil namanya.
“Bagaimana, Nak?” katanya setelah bercakap tentang cucunya itu.
Aku diam berpikir. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang hanya kuanggap sebagai guyonan atau basa-basi saja dan kutanggapi dengan tersenyum, sekali ini aku memperhatikan dan menanggapi perkataannya dengan serius.
“Semuanya tergantung padamu, Nak. Tapi, setelah kamu bertemu dengannya,” lanjutnya.
“Saya belum kenal dengannya, Pak,” kataku. Pak Khozin tersenyum.
“Makanya, Nak. Bukankah dari dulu aku sudah memin-tamu datang ke rumahku?! Biar kalian saling bertemu. Berkenalan. Selanjutnya terserah kalian. Dan menurutku, kalian akan cocok menjadi pasangan suami istri,” serunya seraya tersenyum.
“Kapan saya bisa bertemu dengannya?” kataku seperti meluncur begitu saja.
“Nanti malam datanglah ke rumahku?! Kamu bisa toh?!”
Aku diam menatap wajahnya yang begitu menginginkan harapannya bisa terwujud. Entah, apa yang menjadi pertimbangan dirinya terhadap diriku. Hingga tak bosan-bosan mengungkapkan salah seorang cucunya setiap kali kami bertemu. Menjodohkannya denganku.
“Baiklah. Aku pergi dulu. Nanti malam aku tunggu kedatanganmu di rumah. Jangan lupa, habis Isya, ya Nak,” katanya. “Ehm,… kamu tahu rumahku, toh?!” Aku meng-angguk. Seraya tersenyum, ia kemudian pergi.
Dalam diam di tengah sisa-sisa kesibukan pasar ikan, pikiranku membayangkan diri perempuan, cucu Pak Khozin yang dipanggil Indah itu. Namun, begitu jauh. Aku belum pernah melihatnya. Dan bayangmu yang malah kemudian berkelebat di benakku. Kau yang berjanji dengan kebahagia-an yang tercipta dari kebersamaan kita yang bertambah kabur setelah kau tak juga-juga datang untuk kita nyatakan bersama.
Mungkin sudah menjadi watak cinta. Begitu pula iman. Seperti ombak lautan yang berpasang dan bersurut. Laiknya musim dan cuaca yang berubah-ubah. Dan kau semakin tak terjangkau.
Ah, kalau saja aku tahu di mana tempat-tempat yang menyatakan keberadaanmu, barangkali aku akan segera berangkat untuk sebuah pertemuan. Namun, kita belum berbicara tentang hal itu. Juga belum saling memberikan alamat lengkap dan nomor telepon. Hanya Sumatera yang menjadi alamatmu. Sumatera Selatan, tepatnya. O, semestinyakah aku meninggalkan jejak di setiap jalan-jalan yang menggaris tanah Sumatera Selatan. Akhirnya kuyakinkan diri sendiri, kalau kita benar akan berjodoh, maka kebersamaan kita akan dimudahkan.
Selama ini, aku tak pernah menjalin hubungan spesial dengan seorang perempuan. Kecuali pertemanan biasa. Meskipun begitu, ada juga beberapa di antara mereka yang suka kepadaku. Sebut saja, Lia Widjayanti yang saat SMP dulu begitu menginginkan aku menjadi pacarnya, dan kini, ia lebih terkenal dengan nama Tarjeta Armelia, seorang penyanyi. Dan seperti disulap oleh waktu, ia telah banyak berubah.
Atau perempuan-perempuan yang tinggal satu desa denganku. Begitu pula perempuan-perempuan yang mem-berikan perhatian lebih kepadaku saat SMA dulu. Juga sampai saat ini, setelah enam semester aku belajar di salah satu perguruan tinggi yang ada di sebelah selatan sana.
Di mata teman-teman satu kampus, aku seorang mahasiswa yang pendiam dan tidak bergaul. Barangkali karena aku yang kerap menghabiskan waktu di perpustakaan saat menunggu jam kuliah. Atau langsung pulang saat kuliah selesai. Tidak memilih bercengkerama dengan teman-teman terlebih dulu, seperti yang biasa mereka lakukan. Tidak pula aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh satu pun unit kegiatan mahasiswa yang ada.
Meski jarang berkumpul dan bercakap-cakap dengan teman-teman, aku masih bisa mendengar kata kabar yang beredar di antara teman perempuan satu kampus tentang diriku. Katanya; aku seorang laki-laki yang tampan, keras, dan dingin. Sebuah kombinasi karakter yang menarik bagi beberapa orang di antara mereka untuk menaklukkan diriku. Namun, biasa saja aku menanggapinya.
Di sisi lain, diam-diam aku sosok laki-laki yang begitu mudah tertarik dengan perempuan ketika bertemu dan bertatapan mata. Entah, sudah berapa banyak perempuan yang membuatku tertarik?! Namun, sebegitu mudahnya pula aku segera lupa begitu mereka telah lenyap dari pandang mataku. Aku tak pernah benar-benar ingin mendekati mereka.
Maka, ketika hari itu kau terpeleset di batukarang, tercebur ke laut, dan kedatanganku menolongmu, sungguh, aku merasa beruntung sekali. Bahagia. Dan benar, lewat kejadian itulah kebersamaan dan keakraban kita kemudian dimulai. Kalau tidak seperti itu, barangkali aku hanya akan menatap dirimu di batukarang. Lantas kau akan bernasib seperti perempuan-perempuan lain di hadapanku. Berlalu dari lensa mataku tanpa kata salam.
Akan tetapi, tidak. Yah, ketidakhadiranmu pada janji pertemuan hari berikutnya jam sembilan pagi, berikutnya, dan berikutnya lagi, hingga tempat wisata itu ditutup untuk entah kapan dibuka kembali, cukup bagiku untuk menyu-dahi masa depan yang akan terlahir dari kebersamaan kita hidup di dunia. Rupanya, kau bukan perempuan itu. Perempuan yang akan melengkapkan dan menjadikan aku sebagai laki-laki.
***
JALANNYA waktu menghapus bersih semburat merah di cakrawala. Malam tergelar dengan kesempurnaannya. Udara mendingin di bawah rembulan dan bintang-bintang. Waktu Isya’ telah tiba. Dalam diam duduk di kursi ruang tamu, aku berpikir sendiri tentang apa yang akan terjadi setelah pertemuan pertama dengan Indah nanti.
Sejenak aku menjadi ragu untuk pergi bertamu. Namun, tidak baik kiranya mengelak dari janji tanpa suatu udzur yang benar-benar penting, hingga menjadikan perlu untuk membatalkannya. Apalagi bukan sekali ini saja pak Khozin memintaku datang ke rumahnya. Sudah berkali-kali, sejak hampir setengah tahun yang lalu. Tentunya, dia sudah menunggu-nunggu kedatanganku ke rumahnya dan mem-persiapkan segalanya.
“Tumben sudah rapi. Mau ke mana?” kata Lik Kusnan yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu. Tersenyum menatapku.
“Anu, Lik…”