Waktu; di pesisir utara

Syauqi Sumbawi
Chapter #7

Fragmen 7

Rupanya, tidak. Manusia tidak pernah tahu pasti apa yang akan terjadi nanti. Ramalan, prakiraan, hitung-hitungan hari, hanyalah sebentuk hasil penglihatan atas sebuah tanda. Seperti mendung yang menjadi tanda bahwa akan turun hujan. Namun, mendung yang paling pekat di langit pun tak bisa dipastikan akan menjadi hujan. Menyebar dihembus angin. Berpencar-pencar. Maka, siapa saja yang berani memastikan tentang apa yang terjadi nanti, dia berarti orang yang sombong. Siapa saja yang terpengaruh dengan ramalan, hitung-hitungan, dia berarti orang yang labil. Lantas siapa saja yang memegangnya erat-erat, dia berarti orang yang tak punya malu.

Dia bukan perempuan yang akan melengkapkan diriku menjadi seorang laki-laki. Dia sendiri yang memilih itu dan menggagalkannya. Tiga hari sebelum pernikahan digelar, terdengar kabar dia kabur dari rumah. Entah ke mana?!

Pagi itu pak Khozin datang menemui diriku dan Lik Kusnan. Ketika kami saling bertatapan mata, kulihat mata-nya memerah berkaca-kaca. Meminta maaf atas segala yang terjadi kepada kami. Ia begitu menyadari kesalahan berasal dari pihaknya. Dan itu artinya, pernikahan pun gagal dilaksanakan. Kemudian darinya, aku mengetahui bahwa Indah pergi bersama seorang laki-laki, pacarnya, ke Sumatera.

Aku tak tahu, apa yang terjadi sebenarnya?! Apa yang menjadi penyebab hingga ia menyembunyi sesuatu dariku?! Berdusta dengan mengatakan mau menerimaku sebagai suaminya. Padahal dusta sendiri wabah yang mudah menjalar. Mengajak lebih jauh ke dalam dengan dusta-dusta yang lain. Bertumpuk-tumpuk, hingga semuanya mendesak-desak dan memaksa menjebol pintu kenyataan.

Selama ini, setiap kami bersama, ia selalu menunjukkan perasaan yang bahagia. Hingga aku merasa bahwa kami telah cocok dan saling cinta. Tidak tampak ada alasan bagi pernikahan untuk tidak direncanakan. Namun entah, apa yang terjadi di balik tirai yang membatasi rahasia dan keterusterangan itu, yang memerintahkan dirinya pergi ke Sumatera bersama seorang laki-laki. Apakah selama ini ia terpaksa?! Dipaksa oleh keluarganya?! Pak Khozin, kakek-nya?! Kalau saja dia dulu mengatakan yang sebenarnya, telah memilih seorang laki-laki untuk menjadi suaminya, maka aku akan melepaskan dirinya jauh-jauh sebelum peristiwa ini terjadi.

Biar semua menjadi gagal. Segala persiapan membuyar. Undangan-undangan yang telah tersebar tidak pernah dihadiri. Meskipun kecewa, aku akan merelakannya. Harus menerimanya. Namun, setidaknya aku lebih beruntung. Peristiwa ini terjadi sebelum aku sempat mengucapkan janji pernikahan. Andai ia kabur bersama laki-laki lain setelah ia menjadi istriku nanti, maka barangkali kekecewaan ini akan lebih berat dan meng-gumpal di hati.

Dalam remang lampu jalan menelusup ke ruang tamu, aku teringat cerita mas Rodli, tetanggaku. Istrinya kabur bersama laki-laki lain ketika perjalanan rumah tangganya baru berjalan tiga minggu. Teringat cerita pak Hary, dosenku. Istrinya juga minggat bersama laki-laki lain setelah lima tahun pernikahan mereka, meninggalkan dua orang anak yang masih kecil. Lantas aku teringat ibu, yang kerap kutemukan termenung dengan dagu bertumpu pada lengannya yang melintang di jendela, dan wajahnya yang melukiskan kekecewaan dan penyesalan yang dalam. Ibu yang di tengah malam terisak dalam tangis atas kenyataan yang terjadi. Diceraikan oleh suaminya. Seorang laki-laki, bapak, yang tak mempedulikan seorang anaknya. Lebih mementingkan perempuan lain.

Aku berpikir, bahwa setiap perceraian atau perpisahan antara suami dan istri, tak pernah disebabkan oleh sesuatu yang biasa-biasa saja. Tidak pantas rasanya. Meskipun boleh dilakukan, perceraian atau perpisahan merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh Tuhan. Maka, sesuatu yang tidak biasa yang menjadi penyebabnya. Kematian, karena laki-laki lain, perempuan lain, ketidakpuasan, dan segala sikap yang mengisyaratkan keegoisan di antara suami dan istri.  

Lihat selengkapnya