Kebiasaanku selama menganggur ternyata masih terbawa hingga ke Pare. Berkali-kali aku mencoba tidur, tapi tetap saja tak bisa. Sekitar pukul dua dini hari aku baru bisa terlelap.
“Wake up! Wake up! Wake up!”
Aku terbangun karena teriakan lantang seorang perempuan. Kucari ponselku, pukul 04.00 pagi. Itu artinya aku baru tidur dua jam. Meski kepala masih berat, aku memaksakan diri bangun demi menjaga image di hadapan penghuni camp. Dengan langkah terhuyung-huyung, aku menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Usai salat subuh berjamaah, harapan untuk kembali tidur pupus sudah. Kegiatan dilanjutkan dengan morning class bersama Miss Dira, penanggung jawab camp.
Miss Dira memiliki postur tinggi langsing, kulit sawo matang, dan ekspresi wajah yang tegas. Siapa pun yang melihatnya untuk pertama kali mungkin akan mengira dia galak. Tapi seiring waktu, aku mengenalnya sebagai sosok yang ceria, gesit, dan sangat cerdas.
Sebagai penghuni baru, aku diminta memperkenalkan diri lebih dulu. Dengan senyum tipis, dan suara dibuat sejelas mungkin, aku berdiri di depan kelas.
“Hello everybody, my name is Alana Hendarso. You can call me Alana. I come from Tasikmalaya. Thank you!”
“Thank you, Alana. Welcome to Logico’s Family,” ucap Miss Dira sambil tersenyum.
Pelajaran pagi itu adalah tentang idiom.
“As we all know, idiom is a kind of expression. So, don’t translate it literally,” jelas Miss Dira. Kami semua mengangguk.
“Alana, can you mention one idiom in English?”
“Break a leg?” jawabku ragu, mengingat kata-kata temanku menjelang sidang skripsi.
“What does it mean?”
“Good luck!” jawabku sambil mengepalkan tangan.