Waktu Isa Sudah Lewat

Alfia
Chapter #8

Goa, Candi, dan Kelingking Aisa

Agar penghuni Logico tidak merasa jenuh, setiap pekan Miss Dira punya satu kebiasaan yang kami nanti-nanti: mengajak kami bersepeda ke alun-alun Pare. Bukan sekadar olahraga, tapi sebuah tradisi kecil yang penuh kehangatan. Angin pagi menyapa wajah kami saat pedal sepeda mulai dikayuh. Di bawah langit Kediri yang biru pucat, kami meluncur menyusuri jalanan kecil yang dihiasi deretan warung, kios kelontong, dan senyum ramah warga lokal.

Alun-Alun Pare adalah jantung kecil kota ini. Di bagian selatannya, tepat di bawah pohon beringin tua, berdiri dua arca tua: Ganesa dan Dwarapala. Masyarakat mengenalnya sebagai Alun-Alun Ringin Budho. Sayang, arca itu nyaris tersembunyi di balik hiruk-pikuk pedagang kaki lima. Aku saja baru menyadari keberadaannya setelah diberi tahu Miss Dira.

Biasanya kami membeli nasi pecel, lalu duduk melingkar di bawah bayang-bayang pohon rindang. Pecel dengan bumbu kacangnya yang legit dan sambal yang hangat menyentuh lidah, seperti pelukan ibu di pagi hari. Belum puas jika tak diakhiri dengan susu kedelai dingin. Segar dan menenangkan.

Namun pagi itu, kami merasa bosan ke alun-alun.

"Guys, are you ready to go?" suara Miss Dira menggema dari kamarnya.

"Miss, kan kita hampir tiap minggu ke alun-alun. Gimana kalau sekarang kita coba ke tempat lain?" usulku sambil menyisir rambut.

"Sing penting dudu alun-alun meneh," sahut Trian, khas dengan logat Jawanya.

"Iya toh Miss, bosen," Zahra menimpali sambil memegang tas selempangnya.

Miss Dira berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Yo wis. Gimana kalau hari ini kita wisata sejarah?"

"Kemana, Miss?" mata kami berbinar.

"Ke Desa Canggu. Ada Goa dan Candi Surowono. Tapi agak jauh, lho. Siap?"

"Cuss lah, keburu siang!" Aisa berseru, semangat 45.

"Bawa baju ganti, ya. Nanti bakal kena air," pesan Miss Dira. Kami pun berpencar, bersiap dengan pakaian paling nyaman untuk basah-basahan.

Perjalanan ke Desa Canggu sejauh 6 KM kami tempuh dengan sepeda. Jalanan kampung yang kami lewati bagai lukisan alam: hamparan sawah berwarna hijau zamrud, bunga liar yang tumbuh malu-malu di pinggir jalan, dan deretan pohon tebu yang meliuk pelan ditiup angin.

Sesampainya di Goa Surowono, kami harus antre. Banyak orang juga ingin menyusuri aliran sungai bawah tanah yang konon berusia ratusan tahun itu.

"Di dalem pasti basah. Ini kalian udah pakai baju yang buat basah-basahan, kan?" tanya Miss Dira.

Lihat selengkapnya