Pesawat perlahan-lahan turun dari langit stratosfer, menerobos awan-awan. Kini dirinya telah terbang di atas tanah Rote. Matanya sibuk sekali menatap pulau yang indah ini dari luar pesawat. Terlalu sayang tuk dilewatkan. Laut biru dengan terang gelap warna-warnanya yang selalu indah. Baginya laut selalu unik. Ia diam tapi bersuara. Kapal-kapal kecil bergerak lamban, mengalun tenang—terlelap ditimang oleh ibu laut. Pulau-pulaunya hijau berselimut pohon, tanahnya masih menguarkan senyum khas bumi. Anara memperhatikan setiap bagiannya. Menakjubkan. Apakah ada keindahan lain yang tersembunyi dalam celah keindahan. Ia tak sabar ingin segera menelisik pulau ini hingga ke bagian terdalam.
Lampu merah dari atas kabin muncul memberikan peringatan memakai sabuk pengaman. Mungkin sekitar beberapa menit lagi pesawat akan segera menyentuh daratan. Otaknya mulai sibuk berkelana kesana-kemari tentang perjalanannya. Ia memanggil kembali informasi yang telah ia cari sejak lama. Sejak ia duduk di tahun terakhir bangku sekolah menengah atas. Kala itu semua anak sibuk mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliah ataupun bekerja. Namun dirinya memilih untuk berteduh sejenak di pinggir dangau setelah perjalanan dua belas tahunnya.
“Yah, Nara boleh gak tahun depan baru melanjutkan kuliah?”
“ Emang kenapa?”
“Soalnya biar nanti persiapannya lebih maksimal dan Anara pengen wujudin impian Anara yang kemaren pernah Ayah bilang. Boleh ya?”
“Bol—”
“Gausah lah nanti kamu terlambat setahun dari temanmu. Itukan bisa ditunda nanti-nanti.”
Seperti peribahasa sedia payung sebelum hujan, ia sudah menyiapkan berbagai jawaban sebelum ia kebasahan dihujani pertanyaan ibunya. Sesuai dugaannya, kali ini pasti cukup sulit untuk meyakinkan ibunya, tapi semua berjalan lancar, sesuai rencana. Dengan jawabnnya yang percaya diri dan juga Ayah berpihak padanya membuatnya menjadi lebih mudah. Emang kenapa sih terlambat? Cepat tidak menjamin selamat kan? Tapi ya wajar sih mungkin ini yang dinamakan kekhawatiran seorang ibu dan mungkin terlalu banyak mendengar prediksi tentang masa depan anaknya dari tetangga.
***
15.03 WITA
Tepat pesawat menyentuh Pulau Rote. Tersisa beberapa orang diatas lantai pesawat, termasuk Anara yang sejak tadi berdiri—bersandar malas pada tempat duduk kosong di depannya. Ia memang sengaja menunggu hingga keadaan sedikit lenggang. Wanita berbaju abu-abu ini kemudian menarik sebuah koper hijau dan memikul ransel hitam berukuran sedangnya menuju pintu keluar pesawat.
Cekrek!
Sebuah foto terpampang di atas layar kamera. Dengan sebuah lapangan lepas landas yang dikelilingi pohon-pohon dan rumput-rumput yang hanya disinggahi satu pesawat yang ditumpanginya tadi dengan dua orang petugas dan beberapa orang.
“Foto pertama.” Sudut bibir Anara tertarik. Foto ini kelak akan menjadi penanda darimana ia memulai perjalanannya sekaligus selebrasi kecil-kecilan dari kamera untuk dirinya atas tercapainya salah satu impiannya, solo traveling. Orang tuanya memberinya syarat lulus dari sekolah menengah atas barulah ia diperbolehkan melakukan solo traveling. Sehingga ini menjadi perjalanan perdana untuknya. Anara berharap perjalanannya akan menyenangkan dan berharap dirinya bisa menemukan pengalaman baru.
Anara melanjutkan langkahnya masuk ke dalam sebuah bangunan putih biru –- melewati lapangan lepas landas yang anginnya cukup kencang. Suasana bandara ini nyaman dan tak begitu ramai. Sebab hanya ada satu pesawat yang pulang pergi dari Kupang-Rote dan sebaliknya. Anara harus transit dari Jakarta ke Kupang dahulu baru sampai di Pulau Rote.
* * *
Anara berdiri di luar bandara menunggu sebuah mobil datang menjemputnya. Ia baru saja teringat untuk menelepon Ibunya. Ia yakin wanita yang ia sayangi itu pasti sangat khawatir. Ibunya itu tak akan makan, minum dan tidur dengan tenang sebelum menerima telepon dari putri sulungnya ini.
“Ibu, Anara sudah sampai di bandara.”
“Syukurlah sudah sampai, semuanya lancar kan tadi?” tanya Ibu berusaha memastikan putrinya ini baik-baik saja.
“Lancar, Bu, gausah khawatir. Nara bisa semua.” Anara tau walau ia memberitahu Ibunya ia sampai dengan selamat dan sehat walafiat tanpa kekurangan satu hal pun, Ibunya ini tetap kan terus memikirkannya. Ibu tetaplah Ibu, walau sudah dewasa anaknya hanyalah seorang bayi kecil baginya. Kalo kata Ibu nanti kamu juga rasain. Tapi entahlah bagi Anara pembahasan itu terlalu jauh dan dalam, bahkan saat ini ia tak ingin memikirkannya dulu, seram.