Senin adalah waktu yang tidak disukai oleh orang-orang, termasuk Seraphina. Akan tetapi, menjadi dewasa berarti harus menerima hal-hal yang tidak disukai dalam hidup dan tetap menjalaninya meski keinginan untuk melarikan diri begitu besar. Apalagi Seraphina tahu, pada akhirnya semuanya akan berlalu dan ucapan klise waktu yang akan menyembuhkan itu benar adanya.
Karena kalau itu tidak benar, tidak mungkin semesta memutuskan untuk memberikan Seraphina kesempatan kembali kepada waktu sebelum bertemu dengan Harris. Memperbaiki pilihannya yang berdampak pada masa depan Seraphina. Setidaknya Seraphina bisa menghindari pertemuan pertama mereka secara tidak sengaja dan sekarang menghadapi waktu perkenalan dengan Harris secara resmi di kantor.
Meski tidak suka, tapi Seraphina tahu ini tidak akan bisa terhindarkan.
“Sera, kamu yakin mau bawa bekal?” tanya Ibunya yang membuat Seraphina berhenti menyendokkan nasi goreng ke mulutnya dan menatap perempuan itu yang tampak gelisah. “Apa kamu tidak malu bawa bekal saat jabatanmu di kantor sudah cukup tinggi?”
“Kenapa Ibu mikir begitu?”
“Selama ini kamu tidak pernah bawa bekal.” Jawaban Ibunya yang terdengar hati-hati itu membuat Seraphina terhenyak. Apalagi ekspresi Ibunya yang tampak gelisah membuat Seraphina merasa bersalah dan mulai memikirkan sikapnya selama ini ke Ibunya semenjak berkerja. “Jadi Ibu kaget saat kamu bilang mau bawa bekal buat hari ini.”
“Maaf ya, Bu, kalau aku merepotkan.”
“Enggak, Sera! Bukan begitu. Maksud Ibu...,” ucapan Ibunya menggantung karena Seraphina memegang kedua tangan perempuan paruh baya itu, kemudian perlahan menggenggamnya.
Mereka saling bertatapan dan perlahan Seraphina tersenyum menatap Ibunya. Mencoba untuk menyakinkan bahwa apa yang dipikirkan oleh Ibunya hanyalah ketakutan-ketakutan yang tidak terbukti kebenarannya. Meski tahu tatapan dan genggaman tangan mereka ini tidak sepenuhnya bisa menyakinkan Ibunya, akan tetapi Seraphina hendak membuat Ibunya tahu jika sedikit pun dirinya tidak berpikiran seperti itu.
“Bu, aku tahu kalau selama ini sikapku seringnya menyakiti daripada membuatmu bahagia.” Seraphina mencoba untuk mengatakan hal itu dengan tenang, akan tetapi entah kenapa air matanya justru hendak menetes dan rasanya sekarang sangatlah sesak. “Tapi aku gak pernah malu dengan semua yang Ibu lakukan selama ini untuk kita. Maaf kalau sikapku selama ini bikin Ibu sedih.”
Ibunya tampak terkejut mendengar ucapan Seraphina itu. Apalagi saat melihat Seraphina yang akhirnya meneteskan air mata. Membuat perempuan paruh baya itu segera mengambilkan tisu dan mengelap air mata Seraphina. Meski ada rasa bersalah karena membuat Seraphina menangis, akan tetapi ada rasa hangat karena anak perempuannya menggap dirinya berharga.
Karena selama ini, perempuan itu berpikir jika Seraphina malu memilikinya sebagai Ibunya. Hal yang menurutnya wajar karena masa lalunya. Akan tetapi, sampai kapan pun, perempuan itu tidak akan pernah menganggap Seraphina adalah kesalahan dalam hidupnya.
“Bu, Sera pergi ya.” Pamit Seraphina dan mencium tangan Ibunya. “Ibu istirahat aja ya. Gak usah pergi cari pekerjaan serabutan lagi di pasar.”
“Ibu masih kuat bekerja, nak.”
“Sera tahu, Bu.” Seraphina tersenyum, kemudian menghela napas. “Tapi aku takut kalau Ibu sakit karena kecapean. Uangnya Sera cukup kok untuk membiayai hidup kita dengan layak.”