Saat jam makan siang, Seraphina pikir dirinya bisa bertanya kepada Faradilla tentang Kakak laki-lakinya yang bekerja sekantor dengan mereka. Kenyataanya, bahkan sebelum Seraphina bertanya, Faradilla sudah menatap Kakak laki-lakinya dengan kekesalan yang biasanya dilihat jika perempuan itu telah kehilangan kesabaran.
“Gak usah menatapku segalak itu dong, Adikku sayang.”
“Iyuh!” Faradilla menepis tangan Kakak laki-lakinya itu dan mendelik. “Bisa-bisanya dari sebanyak kantor di Balikpapan, kamu malah milih ke kantor ini! Yang benar ajalah, Bang Yusuf!”
Yusuf hanya tertawa, sementara kekesalan Faradilla semakin menjadi-jadi. Seraphina yang menatap sikap keduanya, hanya bisa diam sembari mengunyak bekalnya dengan perlahan. Akan tetapi, Seraphina hampir tersedak saat tiba-tiba Yusuf menatapnya dan tersenyum lebar kepadanya.
“Eh iya, Sera. Aku baru tahu loh jabatanmu tinggi gitu. Harusnya kamu cerita dong biar aku bisa kasih kado juga.”
“Gak usah, Bang. Merepotkan aja.”
Yusuf mendengarnya berdecak, kemudian menggelengkan kepalanya. “Merayakan pencapaian itu bukan sesuatu yang merepotkan, Sera. Itu tandanya menghargai usahamu selama ini untuk sampai pada titik itu.”
Seraphina hanya tersenyum mendengarnya, meski rasanya aneh mendengarnya. Karena selama ini Seraphina merasa mentraktir Serena dan Faradilla saat mendapatkan pencapaian adalah perayaan. Meski memang pada akhirnya hanya Serena yang makan bersamanya karena Faradilla tiba-tiba dikirim ke Sanga-Sanga untuk memantau lapangan yang dilaporkan ada mengalami permasalahan.
Meski memang Faradilla setelah kembali dari Sanga-Sanga memberikan hadiah kepada Seraphina—dompet kulit berwarna hitam yang terus digunakannya sampai detik ini—yang pada awalnya ditolaknya. Karena bagi Seraphina, saat merayakan keberhasilannya yang harus memberi adalah dirinya. Tidak seharusnya Seraphina menerima sesuatu saat itu adalah pencapaiannya.
“Kemaren udah ikut kontribusi kok,” celetuk Faradilla yang membuat Seraphina dan Yusuf memandang perempuan itu. Setelah meminum es tehnya hingga setengah, Faradilla berkata, “kaga ingat waktu itu aku malak buat beliin dompet? Itu buat Sera.”
Yusuf mendengar itu menatap Faradilla dengan tatapan tidak percaya, akan tetapi perempuan itu tidak peduli. Faradilla menatap Seraphina yang berhenti mengunyah, kemudian berkata, “Gak usah merasa gak enak. Kayak kata Abang kumpret tadi, semua pencapaianmu yang besar atau kecil sekali pun harus dirayakan.”
“Tapi harusnya aku yang memberi, bukan orang lain yang memberi.”
“Sejak kapan kalo merayakan itu tidak boleh saling memberi?” tanya Faradilla yang membuat Seraphina terdiam. “Pencapaian itu memang milikmu, tapi orang lain yang nyaksikan kamu berjuang sampai situ apa gak boleh memberikan sesuatu sebagai bentuk penghargaan?” Faradilla menepis tangan Yusuf yang mengenggam tangannya, mencoba memberikan tanda untuk dirinya berhenti berbicara. “Bener kok kita tidak boleh mengharapkan imbalan saat melakukan sesuatu, tapi bukan berarti kamu menolak orang lain yang memberikan penghargaan saat kamu merayakan momenmu, Sera.”
Seraphina hendak meminta maaf kepada Faradilla karena bukan maksudnya tidak menghargai pemberian perempuan itu. Akan tetapi, Serena datang bersama Harris dan suasana hati Seraphina semakin buruk.
Padahal momen ini sama seperti waktu pertamanya—yang mana Harris bersama Serena datang ke mejanya serta Faradilla—untuk makan siang. Akan tetapi, ada perasaan yang tidak bisa Seraphina jelaskan. Bukan cemburu, tetapi bukan pula rasa lega apalagi syukur karena melihat Harris pada jarak pandang Seraphina.
Ada rasa kemarahan yang seharusnya tidak eksis. Karena Harris saat ini tentu tidak tahu jika di masa depan nanti akan menikah dengan Seraphina dan membuat kehidupannya seperti neraka. Padahal kesalahan itu yang dimulai oleh Harris dan Seraphina adalah korbannya. Akan tetapi, Serena dan Harris justru sukses membuat semua orang percaya jika itu merupakan rencana konspirasi Seraphina untuk merebut kebahagiaan pasangan itu.