Waktu Kedua

Noor Angreni Putri Hasim
Chapter #8

chapter 07

“Sera.” Panggilan Yusuf membuat Seraphina menoleh dan melihat lelaki itu yang tengan menatapnya dengan khawatir. “Kamu tidak apa-apa?”

“Aku gapapa, Bang.”

“Wajahmu tidak terlihat seperti itu, Sera.”

Seraphina hanya bisa tersenyum sebagai bentuk menghargai kepedulian Yusuf kepadanya. Jika yang bertanya kepadanya adalah orang lain, mungkin Seraphina tidak akan segan untuk memberikan side eyes karena merasa orang tersebut ikut campur kepada hal yang tidak seharusnya. Kemudian, Seraphina kembali menatap ponselnya yang lagi-lagi memberikan pemberitahuan jika pesanannya gagal diambil oleh ojol mobil karena tidak ada pengemudi yang tersedia. Padahal Seraphina sudah menggunakan dua aplikasi untuk bisa segera pulang.

Apalagi saat Seraphina mengirimkan pesan kepada Ibunya untuk menanyakan keadaan, tidak ada balasan. Bahkan saat Seraphina menelepon beberapa kali, tidak ada yang diangkat oleh Ibunya. Seraphina sejujurnya kalut dan kepalanya soialnya tidak berhenti membuat skenario-skenario buruk yang tidak diminta. Karena Seraphina tahu jika Ibunya jika benar-benar takut akan suatu hal, akan memutuskan untuk masuk ke dalam lemari pakaian.

Masalahnya, Seraphina beberapa kali dalam hidupnya harus melarikan perempuan yang melahirkannya itu ke rumah sakit karena menemukan Ibunya yang pingsan. Setiap pengalaman itu memberikan trauma dengan berbagai reaksi Seraphina kepada Ibunya saat kesadarannya kembali di UGD.

“Sera ... Seraphina.” Panggilan itu membuat Seraphina menoleh dan jika kepalanya tidak menyadari suara itu adalah milik Yusuf, mungkin dirinya sudah berteriak sebagai bentuk refleksnya. Hal yang beberapa kali membuat Seraphina meminta maaf kepada seluruh anggota timnya jika kepanikan sudah menguasai kepalanya. Pada akhirnya, lamuman Seraphina buyar karena pertanyaan Yusuf, “Sera, kamu benar-benar tidak apa-apa?”

Tatapan Yusuf yang terlihat khawatir membuat Seraphina pada akhirnya hanya bisa menghela napas panjang. Meski ragu, pada akhirnya Seraphina menggeleng pelan dan melihat Yusuf yang terlihat semakin khawatir sebenarnya membuat dirinya merasa tidak nyaman. Karena Seraphina terbiasa untuk bisa mengatasi semuanya sendirian dan tidak menyeret orang lain jika menghadapi masalah.

Akan tetapi, Seraphina hanya mau pulang. Memastikan Ibunya baik-baik saja.

“Kamu kenapa, Seraphina?” tanya Yusuf yang membuat Seraphina mengerjapkan matanya. Kemudian memaksakan diri untuk tetap menatap Yusuf, karena Seraphina tahu kebiasaannya untuk membuang wajahnya jika menghadapi kepedulian seseorang kepadanya karena tidak terbiasa menerimanya. “Aku tahu kalau diriku bukan Dilla yang lebih paham keadaanmu, tapi aku benar-benar khawatir.”

“Maaf, Bang.”

“Gak, Sera. Aku bukan mau denger maafmu, tapi aku mau tahu keadaanmu.”

Ini situasi yang benar-benar tidak pernah Seraphina hadapi sebelumnya. Rasanya aneh karena ada seseorang yang mengejar apa yang sebenarnya Seraphina rasakan. Bahkan Faradilla yang biasanya tegas terhadap hal apa pun, selalu memberikan waktu kepada Seraphina untuk memproses emosinya. Seraphina menutup matanya dan mengatur napasnya selama beberapa saat. Setelah beberapa saat, Seraphina merasa lebih tenang dan perlahan membuka matanya. Hanya untuk mendapati Yusuf yang tetap berada di depannya dan masih menatapnya dengan khawatir.

“Bang, kenapa masih ada di sini?”

“Aku tidak mungkin meninggalkanmu yang tidak terlihat baik-baik saja.”

Seraphina hampir menyahut, tapi pada akhirnya hanya memutuskan untuk menghela napas panjang. Meski Seraphina tidak suka dengan situasi yang tengah memerangkapnya saat ini, akan tetapi dirinya berusaha untuk tenang. Entah kenapa, perkataan Faradilla saat mereka di semester akhir perkuliahan dan tengah sibuk mengurusi skripsi tiba-tiba terlintas di kepalanya.

Tentang Seraphina yang tidak selalu mendorong orang yang mendekatinya.

“Bang Yusuf...,” akhirnya Seraphina mencoba untuk memulai pembicaraan dan bukan untuk mempertanyakan keberadaan Yusuf yang tetap bersamanya, “aku mau segera pulang, tapi dari tadi gak ada yang pick up pesananku.”

“Ini lagi hujan, Sera. Jadi emang lagi susah dapatin supir yang mau jemput.” Yusuf merespon Seraphina dengan perasaan sedikit lega. Karena setidaknya tahu perempuan itu tidak mengalami sesuatu yang membenarkan seluruh pemikiran liar dalam kepalanya. “Mau pulang sama aku gak? Daripada nungguin gak tahu kapan di sini.”

Seraphina menatap Yusuf, tidak percaya dengan yang barusan di dengarnya. Pada satu sisi, Seraphina lega mendengar tawaran itu karena berarti dirinya bisa sampai ke rumah lebih cepat. Pada sisi lainnya, Seraphina masih tidak mengerti alasan Yusuf yang tetap berada di depannya saat bisa pulang sejak tadi.

“Sera...?”

Lihat selengkapnya